Thursday, June 24, 2010

Madiun dalam Palihan Nagari Mataram (Perang Suksesi Jawa III)





Peran Madiun pada Masa Palihan Nagari Surakarta dan Jogjakarta


( Masa Perang Suksesi Jawa III )





Palihan Negari atau sering disebut Perang Suksesi Jawa III, yaitu ketika  terjadi peperangan antara Susuhunan Paku Buwono II dan III yang di bantu pasukan VOC  melawan Pangeran Mangkubumi yang di bantu Raden Mas Said (terkenal dengan Pangeran Samber nyawa),  Perang ini berawal dari ikut campurnya VOC pada Pemerintahan Surakarta dan di cabutnya hak Pangeran Mangkubumi atas tanah Sukowati ini oleh Paku Buwono II, semuanya memang bagian dari politik ”devide et impera” Kompeni Belanda. Peperangan  dimulai  11 Desember 1749 sampai dengan 13 Pebruari 1755, oleh para ahli sejarah, perang ini sering disebut Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang ini rakyat Jawa Timur termasuk Mediun medukung penuh perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Walaupun Mediun merupakan wilayah dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang menjadi Bupati pada waktu itu adalah Pangeran Mangkudipuro yang merupakan Bangsawan dari Surakarta.





Pangeran Mangkudipuro (1725 – 1755) berkedudukan di  Istana Kranggan, selaku Bupati Wedono membawahi 14 bupati Mancanegara Timur memperkuat pertahanan di wilayah Brangwetan, sedangkan yang memegang pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada seorang Patih sebagai pejabat Bupati Mediun, yaitu Raden Tumenggung Mertoloyo ( 1726-1749)





Gubernur Jendral Jacob Mossel yang berkuasa di Bumi Nusantara (1750-1761) menugaskan Jendral Van Hogendorf untuk mengadakan perundingan dengan para pemimpin peperangan, dengan dengan bantuan Patih Pringgoloyo (patih Surakarta) Jendral Van Hogendorf berunding dengan Pangeran Mangkubumi tanpa sepengetahuan Raden Mas Said.





Raden Mas Said alias Pangeran Surjokusumo Prang Wadono, Pangeran Mangkudipuro dan Tumenggung Mertoloyo yang merupakan Wedono Mancanegara Timur dan Bupati Mediun tidak tahu-menahu pendekatan licik yang dilakukan Kompeni. Mereka terus menyusun kekuatan dan bertempur melawan Kompeni dan Prajurit Paku Buwono III, Raden Mas Said dendam karena ayahnya yang bernama Pangeran Mangkunegara ( saudara Susuhunan Paku Buwono II ) diasingkan oleh Belanda ke Sri langka.





Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755, terjadilah perjanjian Gianti   antara Pangeran Mangkubumi dengan Kompeni Belanda. Salah satu isinya adalah Negara Mataram di bagi dua, dan Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Jogjakarta bergelar ”Hamengku Buwono  Senapati ing Alaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatolallah”  dan berkuasa atas separoh dari wilayah pedalaman Kerajaan Mataram Islam (Surakarta) termasuk Kabupaten Mediun dan sekitarnya.





Walaupun Pangeran Mangkubumi telah bertahta di Jogjakarta namun Bupati Madiun Pangeran Mangkudipuro tetap tidak menghiraukan isi Perjanjian Gianti, terbukti dengan pemboikotan Mangkudipuro dalam penyerahan hasil bumi pada Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Secara kebetulan Kabupaten Sawo (Ponorogo) yang merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Jogyakarta ( oleh Jogja dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk memisahkan diri (mbalelo) dari Kerajaan Jogjakarta, kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono I mengutus Bupati Wedono Madiun, Pangeran Mangkudipuro untuk menangkap Bupati Sawo, namun karena Pangeran Mangkudipuro setengah hati dalam melakukan tugasnya, maka beliau terluka dan kalah dalam peperangan, hal ini membuat Sri Sultan marah, maka kedudukan Wedono Bupati Mancanegara Timur pun dilepas dan  Pangeran Mangkudipuro disingkirkan dengan diberi kedudukan sebagai Bupati di Caruban. Pengganti Mangkudipuro diangkatlah seorang panglima perang tangguh ”Raden Prawirosentiko” sebagai Bupati Mediun dan merangkap sebagai Wedono Bupati Mancanegara Timur, dengan gelar Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan masih menempati Istana lama di Kranggan. Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (Kuncen) sebagai Istana Bupati Mediun yang baru,





Bupati ke 16 adalah Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari  Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, Beliau berkedudukan di tiga Kraton yaitu Jogjakarta, Maospati dan Wonosari.  Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan tentara Belanda di  Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono, Ronggo Prawirodirjo dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak beserta Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan  sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.





Pada masa kepemimpinan Ronggo Prawirodirjo II, lahir pahlawan nasional putra Madiun yang bertugas sebagai senopati perang Pangeran Diponegoro, yang bernama Ali Basah Sentot Prawirodirjo.



sumber utama : Buku Sejarah Kab. Madiun 1980


Wednesday, June 16, 2010

Perang Suksesi Jawa II



Pemberontakan Pangeran Arya Dipanegara di Madiun






Pangeran Arya Dipanegara ( bukan Pangeran Diponegoro) adalah putra Susuhunan Paku Buwono I yang lahir dari selir. Pada tahun 1719 ia ditugasi menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya (adik Adipati Jayengrana). Mendengar berita kematian ayahnya yang dilanjutkan dengan pengangkatan Amangkurat IV sebagai raja baru membuat Dipanegara enggan pulang ke Kartasura.




Arya Dipanegara lalu mengangkat diri menjadi raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun. Ia bergabung dengan kelompok Jayapuspita yang bermarkas di Mojokerto. Bersama mereka menyusun pemberontakan terhadap Amangkurat IV yang dilindungi VOC. Sementara itu, Amangkurat IV juga berselisih dengan kedua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya. Kedua pangeran itu akhirnya dicabut hak dan kekayaannya oleh Amangkurat IV.




Pangeran Blitar akhirnya memberontak di istana dengan dukungan kaum ulama yang anti VOC. Pangeran Purbaya dan Arya Mangkunegara (putra Amangkurat IV) bergabung dalam pemeberontakan itu. Namun karena pihak Amangkurat IV lebih kuat, para pemberontak akhirnya menyingkir meninggalkan Kartasura. Pangeran Blitar lalu membangun kembali kota Karta (bekas istana Mataram zaman Sultan Agung). Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Kartasekar.








Paman Amangkurat IV, yaitu Arya Mataram juga meninggalkan Kartasura menuju Pati di mana ia mengangkat diri sebagai raja di sana. Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Dipanegara Madiun, dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram. Pangeran Blitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Dipanegara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya Dipanegara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara pun menyerah pada Pangeran Blitar dan bergabung dalam kelompok Kartasekar. Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura dan VOC menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Putra Amangkurat I ini ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerang Mataram. Kota Kartasekar dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Blitar menyingkir ke timur. Satu per satu kekuatan pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya Kartasekar. Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar. Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka.



di rangkum dari berbagai sumber di mbah Google


Saturday, June 5, 2010

Tanah Perdikan Giripurno, Makam GKR Maduretno







Makam Ronggo Prawirodirjo III dan Permaisuri GKR Maduretno


"Sayang kurang terurus"






Tanah Perdikan Giripurno 




Tanah perdikan Giripurno ditetapkan oleh Sultan Hamengkubuwono II Karena di Gunung Bancak Giripurno terdapat makam anak seorang raja, maka Giripurno dijadikan Perdikan. Kyai Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola daerah Perdikan itu.





Kyai Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari, meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, Beliau di  Giripurno mendirikan pondok pesantren. Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana dan banyak  didatangi orang karena kearifannya. 

Juga ada kyai yang cukup termashur yaitu kyai Kaliyah guru Kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga isteri Ronggo Prawirodijo III. Tidak menutup kemungkinan Ronggo Prawirodijo III adalah murid beliau juga.


Selain Kanjeng gusti Ratu Maduretno (garwo padmi) beliau masih mempunyai isteri lain yang berasal dari Madiun (garwo paminggir). Alibasah Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir tersebut.


Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, maka beliau memilih dimakamkan di Gunung Bancak, Giripurno.





Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan sekaligus senopati perang  Hamengku Buwono II,  Ketika  Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I)  memisahkan diri dari  Surakarta dan Membangun Jogjakarta. Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III  yang berjasa mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati Madiun, membawahi bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.





Ronggo Prawiridirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta "pating dlemok", ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.


Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan perang  gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para "blandong", yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.


Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena  perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo II yang merupakan antek Belanda. Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo III ditangkap hidup atau mati, maka patih  Danurejo II menyusun siasat untuk menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.





Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik ”Devide et impera”  


Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Jogjakarta dengan upacara kebesaran di makamkan di  Banyu Sumurup komplek khusus keluarga kraton yang dianggap mbalelo dekat makam  raja-raja mataram Imogiri. GKR Maduretno, isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Jogjakarta dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.





Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II, bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna  memenuhi permintaan Belanda, Danurejo juga  telah mencuri stempel Kraton Jogjakarta untuk  mengeluarkan perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai "patih sedo kedaton".





 


Plakat atas pintu Makam Ronggo Prawirodirjo III







 


Plakat di tembok depan Makam Ronggo Prawirodirjo III





 


     Bunga Anggrek Hutan yang banyak tumbuh di sepanjang jalan ke makam Gunung Bancak






    Bunga liar yang indah banyak tumbuh di sepanjang jalan ke makam