Tuesday, September 23, 2014

Menelusuri Kisah Pejuang TRIP / TGP Madiun Yang Mulai Terlupakan







Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya


Bapak R.Soekamto dan Ibu bersama Kompas Madya





Hari
Senin, 18 Agustus 2014, pukul 11.30 WIB dengan membawa surat pengantar dari
Sekretariat Kompas Madya Jl. Raya Nglames, kami bertiga segera meluncur ke Jl.
Pahlawan, motor langsung saya parkir di depan kantor LVRI, Mas Ajar dan mas
Anas segera masuk dan mencari-cari seseorang yang bisa di temui, suasana kantor
sepi namun setelah kami agak masuk kedalam terlihat beberapa staf duduk di meja
kerja masing-masing.





“Selamat
pagi pak, ada yang bisa di bantu” kata salah seorang staff Pegawai Negeri Sipil.


Kemudian
kami mencritakan maksud kami untuk bertemu tokoh-tokoh Legiun Veteran di
Madiun. Akhirnya kami diberi beberapa alamat dan nomor telepon untuk di
hubungi.


Segera
kami menuju ke Jl. Kalimantan no. 15 untuk menemui Bapak R SOEKAMTO, salah
seorang pejuang TRIP.





Kami
ditemui Bapak R Soekamto dan Ibu, walau usianya sudah 87 tahun, tampak segar
bugar hanya beberapa kali beliau berusaha mengembalikan ingatan masa
lampau,  dengan pelan beliau mulai
bercerita,   Pemuda Soekamto yang aktif
di organisasi Pelajar yang tergabung dalam IPI (ikatan Pelajar Indonesia)
melalui konggres Pelajar tanggal 25 September 1945, terbentuklah laskar pelajar
yang mendapat binaan dari TKR maka kesatuan ini disebut TKR Pelajar kemudian
berubah menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dikomandani oleh
Mas Isman





R.
Soekamto, 87 tahun Bapak dari dua anggota TNI AD ini sekarang sebagai sesepuh
TRIP Madiun, setiap hari beliau berkantor di LVRI Madiun Jl. Pahlawan samping
Kantor KODIM 0803 Madiun. Mengenang perjuangan pemuda Soekamto sebagai pelajar
HIS di Sidoarjo, setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang
di seluruh pelosok tanah air, melalui siaran RRI di berbagai kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Medan, Padang dan termasuk Surabaya semangat para
pemuda-pemuda menggelora mempelopori perjuangan untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. bertepatan dengan peristiwa Pidato Ir. Sukarno di
lapangan IKADA Jakarta tanggal, 19 September 1945, di surabaya terjadi sebuah
insiden perobekan bendera belanda yang kemudian dikenal sebagai Insiden Hotel
Oranye di jalan Tunjungan. Pada pertengahan oktober hingga akhir Nopember 1945,
terjadi pertempuran heroik arek-arek Surabaya.


Maka
saat itu banyak terbentuk laskar-laskar pemuda, tidak ketinggalan para siswa
membentuk kesatuan-kesatuan tentara pelajar yang kemudian tergabung dalam
Brigade XVII, diantaranya TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP
(Tentara Genie Pelajar), TP (tentara pelajar)


Setelah
mendapat binaan dari TKR, Struktur dan Kepangkatan Anggota Tentara Pelajar
disesuaikan dengan TKR, tahun 1946 TKR berubah menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia) maka TKR pelajar pun berubah nama menjadi TRI Pelajar tepatnya pada
tanggal 26 Januari 1946 yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan sebutan
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).





Setelah
Surabaya dikuasai Belanda, perjuangan tentara pelajar Brigade XVII di geser ke
wilayah Malang, Blitar, Madiun, Bojonegoro dan sekitarnya.


Pada
suatu waktu  Pemuda Soekamto mendapat
tugas untuk mengambil Granat dan Detonator Bom dari adik Residen Malang,
setelah membawa barang tersebut, saat keluar sudah dihadang dan ditangkap oleh
serdadu-serdadu belanda.  Pukul 5.30 sore
di dalam tangsi Belanda, pemuda Soekamto diinterograsi, kebetulan mas Kamto
juga fasih Bahasa Belanda, terdengar percakapan perwira Belanda yang mengatakan
ada lima tawanan disini dan nanti malam kita akan selesaikan, dengan perasaan yang
tidak menentu Mas Kamto, berpikir keras agar bisa meloloskan diri dari tangsi
tersebut, waktu setelah magrib para serdadu sedikit lengah, saat mendapat kode
dari temannya untuk lari ke pintu yang tidak terkunci. Mas Kamto lari keluar
dan menceburkan diri kesungai, dikejar dan diberondong tembakan beberapa kali,
dan satu butir peluru berhasil menembus paha mas Kamto, dengan berlumuran
darah, mas Kamto terus berlari dan masuk di rumah orang tua yang sedang masak,
mas Kamto bersembunyi di kolong tempat tidur. Setelah dirasa aman mas Kamto
segera masuk hutan sebagai  perlindungan paling
aman di masa perjuangan, demikian kenang Bapak R. Soekamto, dan di iyakan Ibu
Soekamto yang ternyata dulu juga sebagai pejuang PMI di masa itu. Setelah masa
perjuangan selesai, Pak Kamto melanjutkan sekolah kemudian di tugaskan ke
Madiun untuk memimpin kantor percetakan negara di Madiun.





Setelah
beberapa saat kami berbincang, rasanya belum puas kami mendengar cerita
perjuangan dari beliau yang sangat heroik, namun karena beliau segera
melaksanakan sholat dhuhur dan beristirahat maka kami segera pamit untuk
melanjutkan kunjungan kami ke pejuang TRIP yang lainya, yaitu Bapak Yusuf
Musdi. Beliau tinggal di Jl. Bali pojokan Gg. Hirjan. Hirjan sendiri diambil
dari nama salah satu ayah anggota TRIP Win Wiryawan yang dulu rumahnya selalu dijadikan tempat persembunyian dan berlindung dari kejaran tentara Belanda. Eyang Hirjan seorang kontraktor yang cukup berada pada saat itu.


Bapak R. Soekamto pulang ke Rahmatullah pada Hari Selasa, 14 April 2015 pukul: 04.00 di rumah duka Jl. Kalimantan No. 15 Kota Madiun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. 




Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya


Bapak
Yusuf Musdi menerima kedatangan kami bertiga dengan sangat ramah, serasa sudah
lama kami mengenalnya. Setelah kami mengutarakan maksud kami Pak Yusuf segera mengungkapkan
keprihatinan beliau tentang kurangnya generasi muda mengetahui sejarah
perjuangan kemerdekaan  di kota Madiun,
terutama tentang perjuangan Pelajar di Madiun. Generasi muda Madiun jarang yang
mengetahui bahwa Madiun mempunyai kisah-kisah perjuangan heroik melawan penjajah Belanda, SMP Negeri 2 Kota Madiun
dulu disebut SMP Pasar Kawak sebagai markas TRIP pernah terjadi kisah heroik
hingga gugur Pelajar Mulyadi oleh Pasukan Pesindo pendukung PKI Muso, kemudian
dibangun Monumen di depan SMP 2 Madiun dan Monumen Mulyadi di Jl. Mastrip
diprakarsai paguyuban Ex Brigade XVII tahun 1987.





Sebagai
pejuang TRIP Pemuda Yusuf Musdi sering ikut bergerilya, biasanya beliau dan
kawan-kawan menyerang Markas Belanda yang bertempat di Jl. Pahlawan sekarang menjadi
Mall “Matahari” pada malam hari dan bersembunyi di desa sekitar hutan di siang
hari. Pernah suatu ketika beliau terluka kemudian dirawat seorang dokter namun
beberapa hari berikutnya sang dokter di tangkap serdadu belanda dan tidak
diketahui nasibnya, kenang Pak Yusuf dengan berkaca-kaca, beliau juga
mengungkapkan beberapa kejadian memprihatinkan saat beliau ikut bergerilya,
pernah suatu waktu pasukan singgah di sebuah desa dan tinggal beberapa hari di
rumah salah satu penduduk, ada informasi dari telik sandi bahwa belanda akan
datang ke desa tersebut, segera pasukan meninggalkan desa dengan cepat, namun
ada salah satu tas pasukan tertinggal hingga Belanda menemukan rumah tersebut
dan dibakar hingga habis tak tersisa. Penduduk tersebut beserta keluarga
mengungsi ikut pasukan gerilya. Hal ini yang membuat Pak Yusuf merasa sedih apalagi
saat pemerintah memberikan penghargaan pada anggota pejuang, bapak ini yang
secara tidak langsung mengabdikan harta dan jiwa raga tidak ikut mendapat
penghargaan karena sesuatu hal.        


Pak
Yusuf setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan usai beliau memilih untuk melanjutkan ke
bangku sekolah dan meniti karirnya sebagai pegawai di Dinas Kehutanan Madiun. 




Ada
sebuah cerita menarik dari Bapak Yusuf berkaitan dengan Bosbow. Dulu di era kolonial awal tahun
1900 Bosbow (boschbouw) yang berada di Jl. Whilhemina (sekarang Jl. Diponegoro)
adalah sekolah pamong praja OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche
Abtenaaren) sekolah ini diperuntukan untuk kaum bangsawan pribumi, salah
satunya putra Bupati Ponorogo yaitu R. Suprio Karto Kusumo. Pada tahun 1938
siswa-siswa OSVIA disini sudah banyak terpengaruh dengan pergerakan
nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia, saat ada kunjungan Resident Madiun
beserta istri ada beberapa siswa dan R. Suprio Karto Kusumo  menyerukan yel-yel Indonesia merdeka, hingga
Mr. Residen marah dan 2 bulan kemudian OSVIA Madiun ditutup.





Setahun
kemudian tanggal 26 Agustus 1939 oeh 
J.H. Becking pimpinan jawatan kehutanan di Bosbow Madiun didirikan MBS
(Midlebare Boschbouw School) disini mendidik siswa pribumi tamatan MULO selama
3 tahun. Selain MBS disini juga digunakan untuk pusat kegiatan sekolah
kehutanan MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren).
Setelah pendudukan Jepang, Bosbow ditutup dan digunakan sebagai markas tentara
Jepang, pak Yusuf juga menunjukan beberapa tempat yang dulu digunakan untuk
markas-markas tentara diantaranya : KOREM dulu di gunakan untuk markas Kempetai
(polisi Militer Jepang), PETA dulu bermarkas di Batalyon 501 yang di komandani
oleh Tohir, DKT dulu markas Pesindo, Toko Bata Perempatan Tugu dulu markas
TRIP, kemudian dipindah sementara ke SMP Pasar Kawak / SMP 2 Madiun, SMP 12
Madiun dulu markas TGP, Mall Matahari dulu Markas Belanda.


Keesokan
harinya bersama Mas Anas kami berkunjung ke kediaman Bapak Soekirman, beliau
adalah eks pejuang TGP, Mbah Kirman begitu beliau dikenal di sekitar
kediamannya Jl. Ringin Madiun. Beliau aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan
paguyuban-paguyuban seni dan kebudayaan. Setelah kami berbincang cukup lama,
beliau berkenan untuk hadir pada acara Donor Darah yang akan kami laksanakan
tanggal 24 Agustus 2014 di sekretariat YSS (Yayasan Suliati Sujoso) Jl. Joiranan Kota Madiun untuk
mengkisahkan perjuangan sebagai Tentara Genie Pelajar di Madiun.




Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya


Mbah
Kirman walaupun usianya sudah 83 tahun, namun beliau tampak segar, energik dan
ingatanya masih kuat. Mbah Kirman datang ditemani Mbah Prapto, 85 tahun juga
eks TGP, Setelah bersilaturahmi dengan teman-teman YSS, Kompas Madya, juga
hadir Pak Agung Sugiharto, Pak Jans Susetyo dan perwakilan siswa SMP Negeri 2
Madiun sebagai generasi penerus TRIP Madiun, Mbah Kirman mulai mengkisahkan
perjuangan Tentara Pelajar di Madiun.


Setelah
peristiwa PKI / Muso di Madiun, disusul agresi militer Belanda II, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
RI, para senior TGP membuka pendaftaran bagi para pemuda untuk ikut bergerilya bergabung
dalam Tentara Genie Pelajar melawan agresi militer Belanda, pada saat itu
rekrutmen dilaksanakan di gedung Sekolah Teknik depan Markas Mobrig Kletak,
Madiun. (sekarang SMP Negeri 12 Madiun), pada saat itu terkumpul 98 anggota TGP
dan dibentuk kompi 2 wilayah Madiun. Saat awal kedatangan Belanda pasukan TGP
sudah kehilangan 2 anggotanya yaitu, saudara Heru dan Suwarno anak Jl. Pandan
dan Jl. Kalimantan yaitu saat ditugaskan meledakan Kantor Telpon  di berondong serdadu Belanda, kemudian yang
mengharukan gugurnya Pemuda Bagio dan Saparno beliau berdua teman karib sejak
kecil dari daerah Njuritan Madiun, Beliau berdua gugur saat memasang ranjau di
jalan raya Saradan dekat SMP 2 Saradan sekarang. Tubuh beliau berdua hancur dan
dijadikan satu dimakamkan di TMP Madiun. Dalam 1 tahun perjuangan Pasukan TGP kompi
2 Madiun harus merelakan 36 pejuang yang gugur di medan laga.




Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya


Wilayah
perjuangan kompi 2 TGP mulai daerah Pati, Blora, Bojonegoro, karesidenan Madiun
sampai ke Nganjuk. Hingga saat ini eks anggota TGP Brigade XVII di Madiun tinggal beberapa orang yang masih sugeng, diantaranya : Pak Soekirman, Pak Prapto, Pak Soenardi, Pak Imam Soehartono, Pak
Bandung, Pak Mujirin Sedangkan bekas komandan satuan Genie Pionir
Bapak Mayjend Ir. R. Sutjihno dan Bapak Bambang Triantoro saat ini tinggal di
Jakarta.


Didalam
kompi TGP dibagi dalam beberapa kesatuan diantaranya Pasukan Infanteri, Genie
Pioner yang bertugas meledakan jembatan yang akan dilalui sedadu Belanda, dan bagian
Fabrikaze bertugas merakit bom, detonator, memperbaiki senjata yang rusak
biasanya senjata di pasok dari Mobile Brigade dan mesiu di ambil dari TNI AU di
Ndurenan Magetan, Ngawi di Kedunggalar, Ponorogo di Kanten dan Madiun di Baru Klinting
Saradan. Pak Husin almarhum dari Gemarang salah satunya yang piawai membuat
berbagai jenis bom.




Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya


Mbah Kirman bersama Kompas Madya, dan Generasi TRIP SMP 2, saat acara Donor Darah YSS.





Kenangan
mengesankan bagi Mbah Kirman adalah ketika akan meledakan jembatan di daerah
Somoroto Ponorogo, oleh ODM (Onder District Militer) agar peledakan ditunda dulu
karena Pak Dirman sebentar lagi melintasi daerah sini, betul saja Jendral
Sudirman bersama pasukannya melintasi daerah Ponorogo bahkan Mbah Kirman dan
kawan-kawan TGP yang mencarikan jalan menuju ke Ngliman wilayah Nganjuk agar
tidak diketahui oleh Belanda.


Mbah
Kirman beberapa kali bermaksud memberikan orientasi sejarah perjuangan ST / SMP
12 Madiun, yang merupakan sekolah cikal bakal Pasukan TGP Madiun, dimana kala
itu merupakan tempat belajar serta perindungan setiap selesai melakukan penyerangan,
anak-anak TGP biasanya bersembunyi di ruang gambar sekolah. Kemudian kembali ke
markas TGP di rumah dinas Pabrik Gula Rejoagung nomor 17, namun beberapa kali
pihak sekolah belum berkenan.


Demikian
cukup panjang dan menarik Mbah Kirman menceritakan pahit getirnya perjuangan
Tentara Pelajar Brigade XVII / khususnya Tentara Genie Pelajar Kompi 2 wilayah
Madiun. 





Mbah Kirman ( KRT. Soekirman Prasetyo Dipuro) wafat : Senin, 17 April 2017. dalam usia 86 tahun



Mbah Prapto wafat 28 Desember 2019




Sumber
: Pelaku Sejarah ex Brigade XVII / TRIP dan TGP wilayah Madiun.








PENGHARGAAN PEMERINTAH RI
TERHADAP PEJUANG PELAJAR





Dalam
rangka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia para Pelajar
Pejuang mengadakan konggres pada tanggal 25 September 1945 di Yogyakarta,
menghasilkan pernyataan :


1.      Kami adalah pelajar Indonesia


2.     
Menolak
menjadi pelajar selain daripada Pemerintah Indonesia


3.      Menyediakan tenaga, jiwa raga
untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia


Selanjutnya
bertempat di Ksatrian TKR J. Pingit Yogyakarta, Mayor Jend. Dr. Mustopo
meresmikan sekaligus membuka latihan kemiliteran bagi IPI bagian pertahanan yang
selanjutnya berkembang menjadi TP, TRIP, TGP yang tergabung dalam Brigade XVII
meliputi : Detasemen I Jawa Timur, Detasemen II Surakarta dan Semarang,
Detasemen III Yogyakarta.


Selanjutnya
setelah masa perjuangan kemerdekaan usai, pemerintah mengeluarkan peraturan
atas dharma bhakti para pelajar, yaitu PP no 31 tahun 1949 tanggal 24-12-1949   tentang Penghargaan
Pemerintah Terhadap Pelajar yang Telah Berbakti


Pasal
2                         : penghargaan
dibagi atas :


1.
Penghargaan Umum  


2.
Penghargaan Chusus  


3.
Penghargaan Istimewa


Pasal
3                         : Penghargaan dibagi atas :


1.
Surat Tanda Bakti       


2.
Ketentuan, bahwa selama mendjalankan kewadjiban berbakti dianggap sebagai masa
Kerdja, jang diperhitungkan untuk menetapkan gadji, pangkat dan pensiun.


Pasal
4             :  


Penghargaan chusus berupa
:


1.
Kelas-kelas peralihan          


2.
Waktu udjian tersendiri                     


3.
Pembebasan uang sekolah dan alat-alat      


4.
Uang saku   


5.
Perawatan tjuma-tjuma terhadap jang menderita penjakit djasmani dan rochani
karena berdjuang.


Pasal
5             : Penghargaan umum diberikan
kepada setiap peladjar jang telah mendjaankan kewadjiban berbakti. Penghargaan
Istimewa berupa : Surat-surat bakti istimewa, disertai beurs dan /atau lainnya


Pada
awal tahun 1950, pemerinta berpendapat bahwa masa yang memerlukan pengerahan
tenaga sebanyak mungkin telah berakhir, maka berdasarkan Keputusan Menteri
Pertahanan No.193/MP/50 tanggal 9 Mei 1950 tentang DEMOBILISASI MENTERI
PERTAHANAN bahwa anggota TNI Brigade XVII yang tidak melanjutkan dalam dinas
tentara di Demobilisasi, untuk mengurus penempatannya dalam masyarakat, telah
dikeuarkan peraturan yang khusus mengatur Pelajar Pejuang, yaitu PP No.14 tahun
1950 tangga 12 Juli 1950.


Selanjutnya
sesuai pengumuman dari Menteri PP dan K 
Bapak S. Mangoensarkoro No: 6349/A tanggal 12 Agustus 1950 dan Surat
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Serikat No. KP/2057/50 tanggal 19 Mei
1950, nasib para pelajar pejuang yang telah didemobilisasi diurus langsung oleh
Pemerintah Republik Indonesia Serikat.


Untuk
mengurus berbagai masalah yang diperlukan khusus pelajar pejuang yang telah didemobilisasi, telah didirikan Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) dengan
demikian pelajar yang telah diurus oleh KUDP 
terkena pula sebagai pelajar KUDP.


Peraturan
Menteri Perburuhan R.I. No.2 Tahun 1956 tanggal 20 Maret 1956 tentang Pemberian
Tunjangan Kepada Bekas Pelajar Pejuang Yang dipekerjakan Darurat / Ditunjuk
Mengikuti Kursus.


Pasal
1 : Bekas pelajar pejuang yang dipekerjakan darurat pada instansi instansi
pemerintah atau ditunjuk mengikuti kursus pemerintah, dan tidak mendapat
tunjangan dari instansi penyelenggaranya, diberi tunjangan bulanan sebanyak
85% dari jumlah gaji pokok menurut gaji pegawai yang berlaku, ditambah dengan
tunjangan kemahalan setempat  dan tunjangan
keluarga dikurangi pajak upah.





Dikutip
: Buku sejarah tumbuh kembangnya YP 17 Jatim, 2012. 


Thursday, June 5, 2014

Kerajaan di Madiun Sudah Mengibarkan Panji MERAH PUTIH sebelum Majapahit





Kerajaan Glang-glang i Bhumi Ngurawan di Madiun Sudah Mengibarkan Panji MERAH PUTIH sebelum Majapahit




Prasasti Kudadu (1216 Saka/1294 M) Lempeng IV verso:

“…. Prasasti . ring samangkana, hana ta
tunggulning çatru layulayu katon wetani haniru, bang lawan putih warnnanya…..”



“….. pada saat itu, ada bendera milik musuh berlari-lari (melambai-lambai)
terlihat di timurnya Haniru, MERAH dan PUTIH warnanya”





Jika temen-temen berada di luar Madiun dan ditanya dari mana berasal? Kemudian dijawab Madiun, kira-kira apa yang mereka respon? Pasti Muso dan PKI.


Ya karena hanya itulah peristiwa sejarah yang benar-benar dicatat dan memudahkan mereka memberikan respon





Oleh karena itu, TS yang bergabung dengan oganisasi KOMPAS MADYA (Komunitas Pemerhati Sejarah Madiun Raya mencoba untuk mengangkat sisi lain yang belum tercatat, namun berdasarkan beberapa bukti bisa dijadikan sebagai kebesaran dari Madiun, sehingga gambaran tentang Madiun yang identik dengan PKI dan tawuran semoga bisa terhapus kelak di kemudian hari




Sri Jayakatwang Ketika mendengar nama tersebut hampir seluruh masyarakat sejarah pasti akan menuju ke kerajaan Daha di Kediri, Namun jauh sebelum itu Sri Jayakatwang adalah Raja dari kerajaan Glang-Glang i bhūmi Wurawan, yang pusat kerajaannya di Dolopo, Madiun



Kronologis Sejarah


  • Tahun 1170 Çaka /1248 M, penerbitan prasasti Maribong yang menyebutkan nararyya Sminingrat atau Wisnuwardhana naik tahta kerajaan Tumapel di nagara Singhasari setelah menggulingkan Panji Tohjaya 

  • Tahun 1176 Çaka /1254 M, penobatan Kertanagara sebagai raja muda di nagara Daha di bhumi Kadiri.

  • Tahun 1177 Çaka /1255 M, penerbitan prasasti Mula-Malurung menyebutkan 8 kerajaan vassal berikut nama raja-rajanya, serta hubungan pertalian darah diantara semua raja-raja vassal tersebut 

  • Tahun 1180 Çaka /1258 M, Sastrajaya (ayahanda Jayakatwang) dinobatkan sebagai raja nagara Daha di bhumi Kadiri, menggantikan Kertanagara. 

  • Tahun 1190 Çaka /1268 M, nararyya Sminingrat wafat, Kertanagara naik tahta menjadi maharaja Tumapel di nagara Singhasari. 

  • Tahun 1193 Çaka /1271 M, Kertanegara sebagai maharaja Tumapel, menobatkan Jayakatwang sebagai raja nagara Daha di bhumi Kadiri dan memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Glang-glang ke nagara Daha di bhumi Kadiri, dimana wilayah kekuasaannya meliputi bhumi Kadiri dan bhumi Wurawan. 

  • Tahun 1197 Çaka /1275 M, pengiriman pasukan Tumapel untuk menaklukkan kerajaan Malayu. 

  • Tahun 1202 Çaka /1280 M, Khubilai Khan mendirikan dinasti Yuan di Mongolia dan menaklukkan kerajaan-kerajaan di Asia.

  • Tahun 1206 Çaka /1284 M, pengiriman pasukan Tumapel untuk menaklukkan Bali. 

  • Tahun 1211 Çaka /1289 M, utusan Dinasti Yuan, Meng Qi datang ke Tumapel dan dilukai oleh Kertanagara. 

  • Tahun 1214 Çaka /1292 M, Jayakatwang menyerang Tumapel dan berhasil membunuh Kertanagara, selanjutnya naik tahta sebagai maharaja Tumapel. 

  • Tahun 1215 Çaka/1293, Jayakatwang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Raden Wijaya yang bekerja sama dengan pasukan Dinasti Yuan utusan Khubilai Khan dari Mongolia.


Dimana Letak Kerajaan Tersebut? Letak persis saat ini yang masih banyak ditemukan peninggalan-peninggalan bersejarahnya adalah Dusun Ngrawan, Desa Glonggong, Dolopo, Madiun








Bukti Prasasti lain adalah Prasasti Mula Manurung (1177 S / 1255 M )




  • Prasasti Mula-Malurung (1177 S) menyebutkan ada 8 Raja dan kerajaan vasal utama Kerajaan Tumapel

  • Pertamakalinya disebutkan nama Raja Jayakatwang

  • Sri Jayakatwang bertahta di nagara Glang-Glang i bhumi Wurawan

  • Sri Jayakatwang Keponakan nararyya Sminingrat

  • Permaisuri Sri Jayakatwang, yaitu Turuk Bali adalah putri nararyya Smi ningrat, dan saudara Sri Krtanagara.




Keadaan
Lokasi Kerajaan Saat Ini



Banyak peninggalan bersejarah yang saat ini sudah ditemukan, namun dijual ke kolektor ke luar negeri. Dengan pekerjaan utama masyarakat adalah pembuat batu bata, sehingga waktu menggali tanah dan menemukan benda purbakala tidak ada yang tahu, dan sebagian masyarakat sudah tahu bahwa benda tersebut bernilai jual tinggi. 





Dan yang lebih menyedihkan lagi Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan lokasi ini sebagai Situs Cagar Budaya yang dilindungi





Berdasarkan inisiasi dari Ketua Kompas Madya Bpk Bernardi S Dangin yang berkoordinasi juga dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 2 Februari ini sudah ada kunjungan dari BALAR (Balai Arkeologi) Jogja untuk mengadakan pemetaan ke lokasi tersebut, Di samping juga melakukan pemetaan ke lokasi candi lain yg kami temukan di Sebayi





Padahal jika lokasi ini bisa diekskavasi dan di rekonstruksi, selain bisa dijadikan obyek wisata yang menambah pendapatan masyarakat sekitar, juga bisa menghapus citra buruk madiun yang sampai saat ini belum punya ikon yang membanggakan. Mosok wong dodol sego pecel thok , kethok nek cuma ngurusi weteng ae he...he....he





sumber : http://www.kaskus.co.id/

              Kompas Madya : Novi BMW, Mas Baswoko 



Wednesday, May 28, 2014

Laporan Penelitian Epigrafi di Madiun dan sekitarnya





Prasasti-Prasasti di Madiun dan Sekitar





LAPORAN PENELITIAN EPIGRAFI DI KABUPATEN MADIUN, MAGETAN DAN PONOROGO PROVINSI JAWA TIMUR’ 


oleh Titi Surti Nastiti dan Machi Suhadi tahun 1996







Foto-foto di atas saya peroleh dari ‘LAPORAN PENELITIAN EPIGRAFI DI KABUPATEN MADIUN, MAGETAN DAN PONOROGO PROVINSI JAWA TIMUR’ oleh Titi Surti Nastiti dan Machi Suhadi tahun 1996. Saya ambil beberapa data prasasti yang mempunyai gambar berwarna sehingga lebih mudah bagi teman2 HvM yang mau mencoba untuk menelusuri kembali. Semoga berguna dan selamat blusukan.





Dari kiri ke kanan :





1. Prasasti Angka Tahun yang terpahat pada gentong batu. 


Dukuh Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo 


(halaman Madrasah Ibtidaiyah Thoriqul Huda)


Catatan : Dituliskan terbalik 1320 saka , di sekitar komplek madrasah pun terdapat banyak tinggalan purbakala lainnya.





2. Prasasti Angka Tahun 1041 saka


Dusun Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo


( Prasasti terdapat pada sebuah tangga masuk Masjid Tegalsari)


Catatan: Prasasti memuat angka tahun 1041 saka.





3. Prasasti Sadon I


Dukuh Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan


(komplek Candi Sadon) 


Prasasti Sadon I – Ditulis dalam dua baris tulisan, baris pertama “I da pra was a da”, sedangkan baris kedua berbunyi “ si da __ ha __”.





4. Prasasti Sadon III


Dukuh Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan


(komplek Candi Sadon) 


Prasasti Sadon III - Ditulis dalam satu baris tulisan berbunyi “ku li na”





5. Prasasti Sonokeling II


Dukuh Tledokan, Desa Keplorejo (?), Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan. 


Komplek makam Sonokeling/Sepanjang


Catatan : Prasasti yang terpahat pada sebuah batu candi berbentuk persegi empat, berhuruf kwadrat dengan bunyi “sad a ga wa y”





6. Prasasti Bungkuk


Dukuh Nrombo, Desa Bungkuk, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan. 


(Di tepi sebuah selokan, tidak jauh dari sungai Baran)


Catatan: Sebuah prasasti yang terpahat pada sebuah batu alam dipahat menjadi empat bidang, pada keempat bidangnya dipahat kwadrat serta angka. Ada dua angka tahun yang terpahat yaitu 1036 saka dan 1049 saka, yang menarik juga terpahat “jay a bha ya”.





7. Prasasti Plaosan 


Dukuh Sale, Kelurahan Plaosan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. 


Catatan : Sebuah batu menyerupai bentuk lingga dan yoni (lancip dibawah, berbentuk persegi empat di bawah dengan cerat) terpahat bahasa dan huruf Jawa Kuno 


Sisi depan : “swasti sakarwasati”


Sisi kanan : “ta 1021 kata”


Sisi belakang : “maharaja wamana”


Sisi kiri : “srama ga __ gasa __ha”





8. Prasasti Sadon II


Dukuh Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan


(komplek Candi Sadon


Prasasti Sadon II – Ditulis dalam satu baris tulisan berbunyi “pa da wan a ri sa”





9. Prasasti Watu Gilang


Dukuh Krajan Setono, Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo


(Prasasti terletak di komplek makam betoro katong)


Catatan : Terdapat dua prasasti yang terpahat pada watu gilang, satu watu gilang mempunyai sengkala memet yaitu manusia, udang, garuda, gajah. Sedangkan pada watu gilang kedua terpahat angka tahun 1319 saka.





10. Prasasti Sonokeling III


Dukuh Tledokan, Desa Keplorejo (?), Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan. 


Komplek makam Sonokeling/Sepanjang


Catatan : Prasasti yang terpahat pada sebuah batu candi berbentuk persegi empat, berhuruf kwadrat dengan bunyi “t-a (?) pri yu ga”





11. Prasasti Angka Tahun Kedung Panji 


Dukuh Dinginan, Desa Kedung Panji, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan


(Di halaman depan kantor desa Kedung Panji)


Catatan: Prasasti Jawa kuno yang dipahat pada sebuah lingga semu, baris pertama ‘1302 saka’ dan baris kedua ‘ pragola’.





12. Prasasti Kepolorejo


Desa Kepolorejo, Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan


(tepi jalan komplek perumahan BTN)


Catatan : Ditulis menggunakan bahasa dan aksara jawa kuno tipe Kediri atau huruf Kwadrat





13. Prasasti Ngadirejo


Dukuh Ngabar, Desa Ngadirejo, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan


(Prasasti terdapat di bawah pohon bamboo milik Mbok Senah dekat dengan sungai Bringin)


Catatan: Prasasti berbentuk stamba bertuliskan 1379 saka





14. Prasasti Sonokeling I


Dukuh Tledokan, Desa Kepolorejo (?), Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan. 


Komplek makam Sonokeling/Sepanjang


Catatan : Batu yang juga difungsikan sebagai nisan ini 


Berhuruf kwadrat dengan bunyi ‘ta na ksi ma’ (?)





15. Prasasti Tladan


Dukuh Jatisari, Desa Tladan, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan


(Prasasti terdapat di bawah pohon bringin dan di tepi jalan desa)


Catatan: Prasasti berbentuk stamba bertuliskan dua baris jawa kuno, baris pertama merupakan angka tahun yang sudah tidak terbaca, sedangkan baris kedua berbunyi “hr da __ ta”.





16. Sandung Simbatan Berangka Tahun


Dusun Simbatan Kulon Sebatakon, Desa Simbatan, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan.


(terletak di rumah Bapak Hasan Adi Kabayan Desa Simbatan)








sumber : Posting saudara Eko Bastiawan di grup Historia Van Madiun





Comments :

Anda, Bernadi S Dangin, Juuan Cox Bertauubat, Wija Adhiguna, dan 27 orang lainnya menyukai ini.

Novi Bmw WoW... banyak Ngok Ngok...

17 Juli 2013 pukul 4:34 · Batal Suka · 2



Widodogb Sastro jos gandos.. hayo msh banyk yg blm terkuak

17 Juli 2013 pukul 12:33 · Suka · 1

Novi Bmw Buka Sitik JOSS!!!! harus segera di data ulang... biar g kehilangan jejak...trus di taruh perpustakaan...


17 Juli 2013 pukul 15:59 · Suka · 1

Eko Bastiawan Iya, pengalaman dulu sempat mencoba menelusuri laporan tinggalan purbakala Kediri tahun 1985 dan sudah banyak sekali yang hilang, laporan ini lebih muda yaitu tahun 1996 semoga masih berada di tempat semula. Perlu diingat ini saya ambil dari data2 prasasti yang memiliki gambar yang berwarna saja, pada laporan ini ada banyak prasasti yang tidak memiliki dokumen bergambar. 


17 Juli 2013 pukul 16:19 · Suka · 4

Andrik Akiramenai pjok kanan bawah....itu prasasti lumbung selayur ya...

17 Juli 2013 pukul 16:58 · Suka · 1

Day Formakanmiesetiaphari prasasti di simbatan tidak in situ lagi,

telah dipindah ke museum majapahit beserta beberapa jaladwara unik dari simbatan yg sayangnya dipenggal secara serampangan...

7 Desember 2013 pukul 15:33 · Telah disunting · Batal Suka · 2

H'aryo Kartono Alangkah bagusnya bila foto ini bisa diupload satu persatu, agar bisa lebih jelas........ _/\_

12 Februari pukul 21:20 · Suka · 1

Eko Bastiawan

12 Februari pukul 23:11 · Suka

Aang Pambudi Nugroho Prasasti ataukah inskripsi??

12 Februari pukul 23:27 · Suka · 1

H'aryo Kartono Terutama foto no 1. Prasasti Angka Tahun yang terpahat pada gentong batu. Dukuh Ngrawan,......... Bisa buat profil Save Ngurawan Site........ 


12 Februari pukul 23:50 · Suka · 1

Eko Bastiawan H'aryo Kartono : Coba saya cari dulu gambarnya, nanti saya kirim lewat inbox Mas.

12 Februari pukul 23:59 · Suka · 2

Aang Pambudi Nugroho Bro Eko Bastiawan, dijelaskan dulu. Prasasti apa inskripsi??

13 Februari pukul 0:03 · Suka · 1

Eko Bastiawan Aang Pambudi Nugroho : Seperti yang sudah saya sertakan di atas, saya mengambil sepenuhnya tulisan yang ada pada laporan tersebut, saya tidak mengganti dan juga menambahi . Nah, semisal anda punya definisi dan penjelasan tambahan, kenapa tidak langsu...Lihat Selengkapnya

13 Februari pukul 0:06 · Telah disunting · Suka · 6

Aang Pambudi Nugroho Bukan masalah tahu maupun tidak tahu brow,,,, sesama teman kan wajib mengingatkan,, apalagi sesama pelestari sejarah budaya gitu. ada saatnya kita mengikuti dan ada saatnya kita kritis. yang paling penting adalah apa yang kita tulis tidak membutakan pe...Lihat Selengkapnya

13 Februari pukul 0:12 · Suka · 1

Eko Bastiawan Aang Pambudi Nugroho : terimakasih tambahan infonya. Semoga apa yang saya posting di atas tidak membuat buta para pembaca dan terimakasih juga sudah mengingatkan. .

13 Februari pukul 0:20 · Suka · 2

Aang Pambudi Nugroho Siip2,,,,

Karena apakah prasasti dalam pengertiannya adalah titah atau peritah raja yang memiliki unsur2 dalam penulisannya. Misalkan: Hantang, Harinjing, Caker, dll.

Masalahnya dalam buku saya belum pernah menjumpai pengeritan tulisan pendek sebagai prasasti, mayoritas menyebutkan itu inskripsi, misalnya inskripsi sengkalan, angka tahun, pesan moral, dll...

13 Februari pukul 0:23 · Suka · 1

Eko Bastiawan Aang Pambudi Nugroho : Untuk lebih jelasnya, sebenarnya hal ini bisa ditanyakan langsung kepada pihak-pihak yang telah melakukan penelitan. Di atas saya sertakan nama Ibu Titi Surti Nastiti, sayang saya ndak bisa ngetag beliau di sini karena masih belu...Lihat Selengkapnya

13 Februari pukul 0:33 · Suka · 4

Aang Pambudi Nugroho Iya wis,,,, nanti tak tanyakan kepada beliaunya......

13 Februari pukul 0:39 · Suka · 1

Eko Bastiawan

13 Februari pukul 0:41 · Suka · 1

Day Formakanmiesetiaphari ndang difarani konoh,

barange isih enek ofo orah...

13 Februari pukul 7:59 · Suka · 1

Bernadi S Dangin Pak Widodogb Sastro, mbk Widia Astuti, Bu Wina Atik W, laporannya ttg bendaa2 tsb.

17 jam yang lalu · Batal Suka · 1

Widia Astuti Ok,soon ...ada beberapa yg dekat saya, bsk sy coba liatnya

17 jam yang lalu · Suka · 1

Widodogb Sastro Kuburan sonokeling iku pasar baru ngalor sithik iku yo..

17 jam yang lalu · Suka · 1

Bu Wina Atik W nahhhh yacedak dengan sayah koh gak ada yoh????? trus kita kemana nih pak Widodogb Sastro?

16 jam yang lalu · Suka · 1







































Friday, May 2, 2014

Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia








Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia





1. Wayang


Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Kesenian wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang/simbol. Kesenian wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.





Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, kesenian wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.





Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.





Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Medang Kahuripan (1009-1042 M), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160 M).





Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.





Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak (alat musik petik sederhana pada iringan Bedaya). Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.





Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.





Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.


Sejak zaman Kesultanan Mataram Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.





Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.





Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta), Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto, Ki Bayu Aji (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono (gaya pesisiran), Ki Joko Edan (semarang) Ki Warseno Slenk, Ki Purbo Asmara (solo) Ki Sujiwotejo. Ki Surwedi (gaya Jawatimuran) Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.Selama ini wayang yang kita kenal mungkin hanya wayang kulit, golek dan wayang orang, meski sebenarnya ternyata ada bermacam-macam jenis wayang, diantaranya yaitu: 



  1. Wayang purwa / kulit : wayang yang terbuat dari kulit binatang. Bercerita tentang kisah Mahabaratha dan Ramayana. Ada beberapa gaya yaitu : gaya Jawa Timuran, Surakarta, Jogjakarta, Cirebon, dan Pesisiran (banyumasan)

  2. Wayang wong / orang : wayang yang tokoh-tokohnya dimainkan oleh orang / manusia. Kisahnya tentang Mahabarata dan Ramayana.

  3. Wayang golek ”pasundan” : wayang yang terbuat dari kayu. Alur cerita Mahabaratha dan Ramayana.

  4. Wayang golek ”Brebes Tegal” : wayang yang terbuat dari kayu menyerupai manusia. Alur cerita mengenai Babad (seperti ketoprak)

  5. Wayang suluh : wayang yang terbuat dari kulit binatang menyerupai manusia. Alur cerita mengenai kehidupan manusia.(berupa nasihat-nasihat/penyuluhan) 



  6. Wayang beber : wayang yang berwujud gambar jejeran, terbuat dari kertas tebal/mori. Selain Mahabarata juga bercerita tentang Raden Panji inu kertapati dan Dewi sekartaji, masih dipertunjukan pada acara tertentu di Pacitan dan Gunung Kidul

  7. Wayang wahyu : wayang terbuat dari kulit binatang, menyerupai manusia. Alur cerita tentang penerangan agama (katholik) 

  8. Wayang menak : wayang terbuat dari kayu, dibuat menyerupai manusia. Cerita tentang wong agung, umarmaya, umarmadi (dakwah agama islam)

  9. Wayang krucil : wayang terbuat dari kulit berukuran kecil dengan satu yang bisa digerakkan, satu tangan lagi permanen bertolak pinggang (tidak bisa digerakkan). Cerita : Babad.

  10. Wayang madya : wayang terbuat dari kulit binatang, sewaktu jaman kerajaan Demak. cerita : Mahabarata.

  11. Wayang potehi : wayang berwujud boneka kecil. Cerita tentang Jaman kerajaan Tartar (babad china)

  12. Wayang jemblung : wayang terbuat dari kayu, menyerupai manusia, tersebar di daerah pesisir utara pulau jawa, blora, cepu. Cerita tentang babad (ketoprak)

  13. Wayang klithik : terbuat dari kayu pipih, cerita panji, damarwulan , Jawa timur, Jawa tengah

  14. Wayang thengul: asli dari daerah Bojonegoro, cerita panji, cerita menak

  15. Wayang Jekdong : wayang kulit gaya Jawa Timuran

  16. Wayang Bali : cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana 



  17. Wayang Sasak (suku sasak) Lombok




2. Makyong


Makyong adalah seni theater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi sri, dewi padi. Makyong adalah theater tradisional yang berasal dari Pulau Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian istana sekitar abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada siang hari atau malam hari. Lama pementasan ± tiga jam





3. Drama Gong


Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur theater modern (Barat) dengan theater tradisional (Bali). Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik". Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar).


Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah Drama Gong yang masih aktif.





4. Randai


Randai adalah kesenian (theater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat. Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama (theater), seni musik, tari dan pencak silat.





5. Mamanda


Mamanda adalah seni theater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup. Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda. Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, theater ini melahirkan sebuah theater baru bernama "Mamanda".


Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya 





6. Longser


Longser merupakan salah satu bentuk theater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan seredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk theater tradisional yang disebut lengger. Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.





7. Ketoprak


Ketoprak merupakan theater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian yang sangat merakyat. Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan” ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak. Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling. Ketoprak merupakan salah satu bentuk theater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu: Bahasa Jawa biasa (sehari-hari), Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi), Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi). Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan theater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat. Lakon-lakon ketoprak yang populer adalah serial Kamandaka, Anglingdarma, Syekh Jangkung, Manggalayudha Sudiro, Damarwulan, Maesa jenar, Harya Penangsang leno, lakon bernafaskan Agama serial syeh Jangkung dll. Sedangkan paguyuban ketoprak yang melegenda adalah ketoprak Mataram Sapta Mandala, Siswo Budoyo dari Tulungagung.





8. Ludruk


Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll). Pemain-pemain Ludruk yang populer diantaranya, Cak Kartolo, Cak Sapari, Cak Sidik, Cak Kancil, Cak Agus Kuprit, Cak Markeso dll. Lakon ludruk yang populer diantaranya Sarip Tambakyoso, Sakerah, Suminten edan, Joko berek, Sawung galing, Branjang Kawat, Trunojoyo dll. 





9. Lenong


Lenong adalah seni pertunjukan theater tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong. Konon, dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan theater yang kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan terhadap tirani penjajah. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "theater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses theaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.


Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.





10. Janger, Banyuwangi


Keunikannya di seni janger banyuwangi ini adalah perpaduan seni Bali, Osing, dan Jawa. Dari musik yang mengiringinya adalah Musik Bali (gamelan Bali), sedangkan dalam pementasannya di selingi dengan lagu-lagu dan cerita, serta tarian dari bali dan banyuwangi. Dari segi musik pengiring dalam pementasan, terdapat kolaborasi yang sangat indah dan unik sekali. Dalm pagelarannya kadang tiba-tiba musik Bali itu di sisipi dengan warna musik banyuwangi.Namun dalam alur cerita selalu di iringi dengan Gamelan bali,.Saat menyanyi di iringi musik banyuwangi. Dalam cerita, janger membawakan cerita babad, legenda, mahabarata, bahkan cerita karangan sendiri. Unik memang, karena kalau ditelusuri ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Yaitu, unsur Banyuwangi, unsur Bali, Unsur Surabaya/ludruk, Unsur Jawa Tengah/ketoprak. Begitu lengkapnya kesenian ini.





10. Wayang Orang


Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang.





dirangkum dari berbagai sumber