Friday, November 20, 2015

Prasasti Mruwak dan Peradaban Purbakala Dagangan






PRASASTI MRWAK DAN SITUS PURBAKALA DAGANGAN 



Kegiatan Blusukan Sejarah dan Budaya


“Historia Van Madioen/Kompas Madya”


15 November 2015



Tujuan Blusukan situs Sejarah :
1. Prasasti Mrwak di Makam Umum Desa Mruwak, Kec. Dagangan
2. Situs Peradaban Kuno Hutan Desa Banjarejo, Kec. Dagangan
3. Situs Purbakala di Rumah Mbah Jaimun Penyelamat Benda Purbakala, Dsn. Panggung , Dagangan

Peserta : 14 orang


Prasasti Mrwak 




Nama lain : Prasasti Mrwak
Lokasi : Ds. Mruwak, Dagangan Kab. Madiun


Keadaan Umum:
Area situs terletak di makam umum Desa Mruwak, tertancap insitu ditempat tersebut dilindungi cungkup berpagar besi dan terlindung sebuah pohon rindang, jenis pohon family spreh dan beringin, Nama pohon belum diketahui.

Sejarah :
Prasasti Mruwak ditemukan dan dilaporkan pertama oleh oleh Mahasiswa IKIP PGRI Madiun waktu Kuliah Kerja Lokal, 1975 dibawah bimbingan Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs. Arief Soekowinoto


Berdasarkan penelitian Churmatin Nasoichah, Balai Arkeologi Medan, Prasasti Mrwak (1108 Śaka/1186 M) adalah berisi penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula. Mrwak adalah desa tua di kaki Gunung Wilis. Penyebutan Desa Mruwak didasarkan pada temuan prasasti yang terletak di desa tersebut, yaitu Prasasti Mrwak. Prasasti ini terletak di bagian belakang sebuah pekuburan umum di Desa Mruwak dan sampai saat ini masih insitu. Oleh beberapa penduduk, prasasti ini dipakai untuk ritual keagamaan dan dikeramatkan. Prasasti Mrwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mrwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23--24).





Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh Sirah Kĕting, Kec. Sambit, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun 1126 Ś (Wardhani,1982:161). 





Dari isi inskripsi dapat diketahui bahwa di Desa Mruwak telah terjadi serangan secara tiba-tiba yang datangnya dari arah sungai dengan menggunakan kapal. Terjadilah peperangan yang menewaskan banyak orang di medan pertempuran. Dalam peperangan ini menewaskan seseorang yang bernama sri kanuruhan beserta bala tentaranya dalam jumlah yang besar. Namun tidak diketahui dari pihak (kerajaan) mana penyerangan tersebut. Akibat dari penyerangan tersebut akhirnya Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang agak jauh dari sungai yaitu dekat dengan gunung (di kaki Gunung Wilis) dengan bantuan Juru Manutan. Hal ini kemungkinan dilakukan agar penduduk desa merasa aman dan untuk pertahanan. Karena telah terjadi serangan secara tiba-tiba itu maka diperintahkanlah Pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk melakukan penjagaan terhadap Desa Mruwak. Wilayah penjagaannya meliputi sungai besar (Kali Catur) karena di tempat itulah serangan dari luar bisa masuk.





Sementara pada bagian isi yang dituliskan pada bagian belakang prasasti baris ke 3--6 dijelaskan bahwa : Isi prasasti berupa pemberian perintah kepada Pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk menjaga kapal (pertahanan) karena sebelumnya telah mendapat serangan secara tiba-tiba dari arah barat laut, sehingga terjadilah peperangan di Mrwak.





Apabila dibandingkan antara bentang alam Desa Mruwak sekarang dengan keterangan dari isi Prasasti Mrwak, ternyata tidak jauh berbeda, keletakan prasasti yang masih insitu memungkinkan untuk dapat lebih mudah dalam analisis kemudian membandingkannya dengan kondisi saat ini. Dalam menganalisis sebuah prasasti banyak hal yang dapat diketahui, baik itu yang berkaitan dengan keletakan, bentangan alam, maupun faktor lain seperti jenis-jenis binatang dan tumbuhan yang ada di tempat tersebut.





Identifikasi nama tempat (toponimi) dari sumber prasasti perlu dilakukan untuk menggambarkan keletakan tempat ke dalam peta yang kita kenal pada masa ini. Hal ini dilakukan karena nama-nama tempat pada masa kerajaan kuna Indonesia sudah sangat berbeda dengan nama-nama sekarang meskipun ada sebagian yang masih tetap sama





Dalam Prasasti Mrwak terdapat penyebutan nama Mrwak yang dijadikan daerah sīma olehŚrī Jaya Prabhu. Sampai saat ini penggunaan nama Mrwak masih terus dipakai untuk menyebutkan nama Desa Mruwak, hanya penulisannya mengalami sedikit perubahan. Semula berdasarkan isi prasasti, penulisan nama ini adalah Mrwak, namun saat ini masyarakat lebih mengenal dengan nama Mruwak.





Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mrwak dan Sirah Kĕting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur.

Sumber : Churmatin Blogs, 2009

Catatan lain :
Nama Raja dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu disebut dalam 3 prasasti Yaitu Prasasti Mruwak (1108 ŚAKA/1186 M), Prasasti Sirahketing Kec. Sambit Ponorogo dan Prasasti Panumbangan I berangka tahun 1042 aka (1120 Masehi) dari Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.

Nama raja dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu kemungkinan juga terkait dengan Penemuan prasasti di Ponorogo tahun 2013, masyarakat menyebutnya watu tulis 'Mbah Krapyak' di Sawoo era Panjalu sekitar abad X-XI, ditemukan di Dukuh Ngrenak Desa Ketro Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo prasasti berangka tahun 1055 Saka/1133 Masehi. Menurut peneliti Novi B Munif, tahun 1055 Saka (sekitar 1133 M) merupakan masa pemerintahan ri Maharaja ri Bamewara Sakalabuanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa. Pada masa itu belum ditemukan data adanya kerajaan ataupun penguasa lain yang memerintah di Jawa bagian timur.

Situs Pendukung : -

Juru Pelihara : Pemeliharaan oleh warga Desa Mruwak dan juga mendapat perhatian dari Mahasiswa KKN Unmer Madiun tahun 2003

Corak Keagamaan : Era Hindhu

Fasilitas : Cungkup

Tiket Masuk : -

Pengambilan Data : 15 November 2015

Dokumentasi :




Prasasti Mruwak




Mendapat apresiasi dari Mbah Warno (lurah Sepuh) Desa Mruwak




Pohon tua jenis sepreh dekat prasasti

Situs Peradaban Kuno Hutan KPH. Dsn Panggung, Dagangan

Nama lain : -

Lokasi : Hutan “Ngabalan” wilayah KPH. Dsn. Panggung Kec. Dagangan Kab. Madiun


Keadaan Umum: situs ini diperkirakan tersebar di Hutan-hutan lereng wilis bagian barat. Ditemukan berserakan potongan-potongan artefak yang berasal dari peradaban prasejarah dan juga era klasik / kerajaan. Diantaranya cuilan terakotta, cuilan keramik china, Batu penanggalan (watu dakon), batu gilang, batu lumpang, batu umpak, lingga, yoni, lapik arca atau bisa disebut fragmen-fragmen candi dengan jumlah yang banyak namun semua dalam kondisi aus , tidak utuh dan tinggal cuilan atau potongan kecil. 




Sejarah : belum diketahui.


Catatan lain : Artefak yang kondisinya masih bagus di selamatkan, dipelihara oleh Mbah Jaimun Dsn. Panggung Dangangan serta telah dicatat oleh Dinas kebudayaan Kab. Madiun dan BPCB Trowulan. 




Situs Pendukung : Situs ini sangat identik dan menyebar di wilayah hutan lainnya di lereng barat Gunung Wilis. Seperti yang sudah ditelusuri teman-teman Historia van Madioen. Yaitu di hutan Wungu, hutan Seneneng Purajati, Desa Kepet, dan hutan Wonoasri.

Juru Pelihara : Pengawasan oleh warga desa sekitar hutan, Perhutani dan dinas terkait

Corak Keagamaan : Era Hindhu

Fasilitas : -

Tiket Masuk : -

Pengambilan Data : 15 November 2015

Dokumentasi :




Cuilan Terakota




Batu Umpak




Fragmen candi




watu gilang




Watu lumpang




makam batu




Batu Penanggalan




Diskusi di Rumah Mbah Jaimun Penyelamat Benda Purbakala




Benda Purbakala yang diselamatkan Mbah Jaimun




Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Penjelasan mengenai pasal Perlindungan dan Pemeliharaan
khususnya yang menguraikan larangan bagi semua pihak untuk merusaknya
dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.

(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya.

(2) Tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang:

a. membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia;

b. memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya ;

c. mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun
seluruhnya, kecuali dalam keaadaan darurat ;

d. mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya ;

e. Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuanya ;

f. Memperdagangkan atau memperjual belikan atau memperniagakan benda cagar
budaya. (Undang-Undang RI, no. 5 Tahun 1992 : 11-12, BAB IV, Pasal 13, butir
1-2)





Penjelasan mengenai Ketentuan Pidana diuraikan pada
pembahasan di bawah ini.

Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau
warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(Undang-undang RI,
no. 5 Tahun 1992 : 16, BAB VIII, Pasal 26).



Tuesday, October 27, 2015

Situs Nglambangan dan Sekitarnya












SITUS NGLAMBANGAN DAN SEKITARNYA


Kegiatan Blusukan Sejarah dan Budaya


“Historia Van Madioen/Kompas Madya”


25 Oktober 2015






Tujuan  :  Situs Lambang Kuning


                 Sendang Wedelan


                 Gunung Bedah 


                 Punden Sobrah


                 Gunung Kromo





Peserta  : 15 orang






Situs Punden Lambang Kuning

Nama lain : Situs Nglambangan

Lokasi : Ds. Nglambangan Kec. Wungu Kab. Madiun




Keadaan Umum:

Area situs terawat dengan baik dengan pohon-pohon kesambi dan sono berumur tua yang kokoh dan rindang, saat ini sedang pembangunan gapura pintu area situs. Ada bangunan gapura utama bergaya bali, pura / tempat meditasi bergaya bali, pendopo utama, Gapura makam Nyai Lambang Kuning, bangunan tempat penyimpanan dan display benda cagar budaya diantaranya : batu yoni, replika lumbung, lapik arca, batu umpak, batu pipisan, batu tunggul, batu lumpang, batu dakon dll.



Sejarah :

Nyai Lambang Kuning masih keturunan atau keluarga dari Kerajaan Kahuripan masa prabu Airlangga 1009-1042 M, Beliau adalah korban dari geger Nyai Calon Arang, sehingga melarikan diri dan babat hutan lalu menjadi desa yang sekarang menjadi Desa Nglambangan



Situs Pendukung :

1. Makam Pendowo Limo yang sekarang tempatnya sudah dipindah untuk pembangunan Masjid.

2. Sendang Wedelan : konon dulu digunakan untuk mewarna kain (wedel) dengan ritual meletakan uang dan kain ditempat ini.

3. Rumah Mbah Kromodiryo : rumah ini tertua di desa ini, ubinnya menggunakan batu batakuno ukuran besar, dirumah ini dulu ditemukan beberapa arca purbakala yang keberadaanya sekarang tidak diketahui

4. Gunung Bedah : dibuat pada era Kolonial yang digunakan sebagai jalur pengangkutan kayu jati dari hutan wilayah ini yang terkenal berkualitas bagus dan melimpah.



Kegiatan Terkait: Ditempat / Lokasi Makam Nyai Lambang Kuning, setiap tahun atau tepatnya bulan Syuro diadakan upacara adat/Bersih Desa sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas semua rahmat dan karunia-Nya.



Juru Pelihara : Pak Samiono

Corak Keagamaan : Era Hindhu

Fasilitas : Pendopo

Tiket Masuk : Tersedia Kotak Sukarela

Pengambilan Data : 25 Oktober 2015

Galeri Foto :










situs Nglambangan




situs Nglambangan




situs Nglambangan




situs Nglambangan





situs sendang wedelan




situs sendang wedelan




situs punden sobrah




situs Gunung Bedah




situs Gunung Sobrah




situs Gunung Bedah




situs Gunung Kromo




situs Gunung Kromo


Undang-Undang No. 11 Tahun 2010







Penjelasan mengenai pasal Perlindungan dan Pemeliharaan
khususnya yang menguraikan larangan bagi semua pihak untuk merusaknya
dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.


(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya.


(2) Tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang:


a. membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia;


b. memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya ;


c. mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun
seluruhnya, kecuali dalam keaadaan darurat ;


d. mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya ;


e. Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuanya ;


f. Memperdagangkan atau memperjual belikan atau memperniagakan benda cagar
budaya. (Undang-Undang RI, no. 5 Tahun 1992 : 11-12, BAB IV, Pasal 13, butir
1-2)











Penjelasan mengenai Ketentuan Pidana diuraikan pada
pembahasan di bawah ini.




Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau
warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(Undang-undang RI,
no. 5 Tahun 1992 : 16, BAB VIII, Pasal 26).





Tuesday, June 2, 2015

Menelusuri Misteri Candi Sukuh dan Cetho





Candi Sukuh


Menelusuri Misteri Candi Sukuh dan Cetho





Sebagai pecinta
sejarah dan benda purbakala di wilayah Madiun dan sekitarnya, tentunya belum
lengkap kalau belum berkunjung ke Candi Sukuh dan Cetho dilereng barat gunung
Lawu yang letaknya relative dekat dengan wilayah Madiun, karena dua candi ini beberapa
tahun terakhir sempat menyedot perhatian para ahli sejarah, arkeolog dan juga
para pemerhati. Mengingat banyak hal yang 
boleh di kata misterius, ganjil dan tak biasa dari segi arsitektur ,
bentuk arca, relief candi  dan mitos-mitos
yang ada di candi Sukuh dan Cetho. Sudah banyak kajian, tafsir dan penelitian
tentang kedua candi ini namun rasanya belum ada yang mampu menjawab dan menawarkan
rasa penasaran tentang candi ini sebenarnya.










CANDI
SUKUH



Candi Sukuh adalah
sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administratif terletak di wilayah
kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan
Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena
ditemukannya obyek pemujaan yang berbentuk lingga dan yoni. Candi ini
digolongkan sebagai candi yang kontroversial (menurut kacamata orang awam)
karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan
yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk
menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.










Sejarah singkat penemuan.



Situs candi Sukuh
dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada
tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh
Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The
History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun
1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama
dimulai pada tahun 1928.










Lokasi Candi Sukuh.



Lokasi candi Sukuh
terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di
atas permukaan laut pada koordinat 070 37, 38’ 85’’ Lintang Selatan
dan 111007,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo,
Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini
berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari
Surakarta.










Struktur bangunan Candi.



Bangunan candi Sukuh
memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang
didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari
candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya semacam Candi Borobudur dan Candi
Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan
budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga
mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.



Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F.
Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga
argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang
batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan
keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang
rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan
Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.





http://forum.kompas.com/nasional/311861-candi-sukuh-menurut-kacamata-pandang-tantu-panggelaran.html






Tjahja Tribinuka : Inskripsi Prasasti Candi Sukuh





CANDI SUKUH, adalah candi terakhir masa MAJAPAHIT. di candi
ini ada lambang-lambang surya majapahit. candi ini dibuat oleh penguasa salah
satu wilayah majapahit di RAJEGWESI untuk meminta pertolongan secara spiritual
melalui ruwatan agar bisa kembali hidup seperti dulu karena saat itu wilayahnya
dikuasai musuh. tertulis dalam prasasti sukuh berangka tahun 1363 saka.




berbunyi : “Lawase rajeg wsi duk penerep kepelegne wong
medangma karubuh alabuh geni ha rebut bumi kacaritane babajag mara mari setra hanang
ta bango 1363”







Kajian dan tafsir dari Arkeologi :





Arca Garuda dari Candi Sukuh 













Sinopsis


Arca Garuda dari Candi Sukuh


Oleh: Agustijanto I







Candi Sukuh adalah salah satu situs arkeologi yang terdapat di daerah lereng
Gunung Lawu. Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini
selain temuan beberapa candi dari masa klasik tercatat pula sejumlah punden
berundak dan temuan lepas lain yang tersebar dari lereng sampai puncak Gunung
Lawu. Sampai saat ini di beberapa situs tersebut masih digunakan untuk upacara
tradisional yang dilakukan pada waktu tertentu oleh masyarakat sekitar Gunung
Lawu.



Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan di Candi Sukuh tetapi
penelitian ikonografi yang menyangkut kajian tentang arca dan relief Garuda
sejauh ini belum ada yang membahasnya secara khusus. Padahal dari empat relief
dan dua arca Garuda yang ditemukan ada satu arca yang dalam penggambarannya
berbeda dengan yang lainnya. Tokoh Garuda umumnya digambarkan secara
antropomorfik namun dalam hal ini tampaknya lebih menonjolkan unsur manusianya
(tangan dan kaki manusia) hanya saja mempunyai sayap yang terkembang. Menarik
pula untuk diketahui bahwa pada bagian punggung arca ini tampak hiasan berupa
keranjang dan buah-buahan dan siapapun yang melihatnya akan memperoleh suatu
kesan bahwa tokoh ini tengah memanggul keduanya.



Penggambaran manusia yang memakai sayap dapat dipahami sebagai sosok yang
dianggap mampu berhubungan secara langsung dengan dewa/leluhur atau sebagai
perantara dalam hubungan manusia dengan dewa/leluhur. Sedangkan relief
keranjang dan buah-buahan juga mempunyai makna simbolis yakni sebagai sosok
yang dianggap dapat memberi kemakmuran/kesuburan. Pemakaian relief keranjang
dan buah-buahn sebagai simbol kemakmuran erat kaitannya dengan kondisi sosial
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut yang sebagian besar hidupnya
tergantung dari sektor pertanian/perladangan. Dengan demikian sosok yang
digambarkan memanggul keranjang dan buah-buahan adalah tokoh yang diharapkan
mampu membawa kemakmuran dan kesuburan terhadap hasil pertanian mereka.


Sumber :
arkeologi.palembang.go.id








Kompas Madya Blusukan di Candi Cetho




CANDI
CETHO










Catatan pada papan informasi
candi Cetho:



Komplek bangunan Candi
Cetho berlokasi di lereng barat gunung Lawu, tepatnya di Desa Gumeng
Kecamatan  Jenawi Kab. Karanganyar.
Memiliki panjang 190 m, lebar 30 m dengan ketinggian 1496 mdpl. Candi Cetho
berlatar belakang Agama Hindhu. Pola halamannya berteras dengan jumlah 13
teras, meninggi kearah puncak, model bangunan seperti ini mirip dengan punden
berundak masa prasejarah.


Prasasti dengan huruf
jawa kuno pada dinding gapura teras ke VII berbunyi:





``Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya
wiku goh anaut iku 1397
”, yang dapat ditafsirkan peringatan pendirian
tempat pengruwatan atau tempt untuk membebaskan dari kutukan dan didirikan
tahun 1397 (1475 M)


Fungsi candi cetho
sebagai tempat untuk meruwat juga dapat dilihat dari simbol-simbol dan mitologi
yang diwujudkan dalam arca-arca dan relief.


Mitologi yang
disampaikan adalah cerita Samudramathana dan Garudeya.


Sedangkan symbol
penggambaran phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan
atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.


Sengkalan memet (angka
tahun yang digambarkan dengan bentuk binatang , tumbuhan dan sebagainya) berupa
tiga ekor katak,mimi, ketam, seekor belut, dan tiga ekor kadal, menurut Bernet
Kempers arca ketam , belut dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3)
wiku (7) anahut (3) mimi (1) sehingga ditemukan angka 1373 saka atau 1451 M.










Cerita Samudramanthana



Samudramanthana
ini  menceritakan taruhan antara kedua
istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu  untuk mencari air amarta atau air kehidupan.
Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Dewa Wishnu berubah menjadi seekor
kura-kura dan menopang gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda  yang keluar dari lautan susu  berwarna hitam sedangkan Winata menebak ekor
kuda itu berwarna putih. Ternyata kuda yang membawa air amarta berwarna putih.
Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanyasehingga warna
ekornya berubah menjadi hitam walaupun bertindak curang Kadru menang dalam
taruhan itu, kemudian Winata dijadikan budak oleh Kadru.










Cerita Garudeya



Cerita Garudeya
mengisahkan tentang pembebasan Winata oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para
ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal Garudeya
dapat menukar dengan air amarta. Garudeya 
pergi ke tempat penyimpanan air amarta yang dijaga para dewa,dan air
tersebut diserahkan kepada para ular. Akhirnya Winata berhasil dibebaskan dari
perbudakan Kadru.










Kajian dan tafsir  agak nyleneh dari  Paguyuban Turangga Seta :



JAKARTA,
KOMPAS.com — Agung Bimo Sutejo dari Yayasan Turangga Seta mengungkapkan
bahwa candi-candi di Jawa menyimpan patung dan relief wajah bangsa asing, salah
satunya orang Sumeria.

Salah satu candi yang memiliki patung manusia Sumeria adalah Candi Cetho.
Berdasarkan catatan sejarah, candi ini dibuat pada zaman Majapahit,
pemerintahan Raja Brawijaya V.





Kesimpulan bahwa
patung di Candi Cetho merupakan orang Sumeria, menurut Agung, bisa dilihat dari
ciri-ciri dan atribut yang dikenakan sosok dalam patung tersebut.

"Orang Sumeria memakai gelang yang mirip jam tangan. Pada patung terlihat.
Ini berarti, patung itu bukan orang Jawa," ungkap Agung yang ditemui di
Jakarta, Kamis (29/3/2012).

Atribut lain menunjukkan adalah bahwa patung di Candi Cetho hanya menggunakan
anting-anting. Padahal, orang Jawa biasanya menggunakan sumping.





Dalam salah satu
patung di Candi Cetho, figur patung tampak dalam keadaan takut. Menurut Agung,
tampaknya figur tersebut takluk pada orang Jawa.

Agung menguraikan, figur Sumeria bukanlah satu-satunya bangsa yang dijumpai
dalam relief candi Jawa. Di Candi Penataran di Jawa Timur, terdapat figur
China, Aztec, dan Mesir.

Salah satu relief di Candi Penataran menggambarkan adanya tiga orang yang
berpakaian mirip orang Mesir duduk bersebelahan dalam posisi menyembah.

Di relief lain di Candi Penataran, terdapat gambaran leluhur Nusantara yang
tengah berjuang menaklukkan bangsa Indian. Lebih kurang ada lima relief yang
diungkap oleh Turangga Seta.

Bangsa Indian, menurut Agung, memiliki pasukan gajah purba. Figur gajah
tersebut dijumpai dalam relief. Hal ini menandai bahwa leluhur Nusantara
menaklukkan Bangsa Maya dari Kerajaan Copan di Honduras.





Berdasarkan beberapa
temuan tersebut, Agung dan rekannya di Turangga Seta mempercayai adanya Benua
Atlantis yang dideskripsikan oleh Arysio Santos dalam bukunya. Atlantis ada di
wilayah Indonesia.

Terkait dengan dugaan adanya piramida di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang,
Agung menilai hal tersebut sangat mungkin. Indonesia telah memiliki peradaban
sejak ribuan tahun lalu. 










Pseudo-arkeologi



Menanggapi pendapat
Agung dan Turangga Seta, arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris
Tanudirdjo, mengungkapkan bahwa temuan tersebut termasuk pseudo-arkeologi.

"Di Mesir itu juga ditemukan gambar mirip tank dan helikopter. Tapi apakah
benar ada tank dan helikopter saat itu? Ada juga figur orang berkerudung,
sangat persis astronot. Tapi apa benar?" tanya Daud. Menurut Daud,
keberadaan orang Sumeria, Mesir, atau Afrika di Jawa mungkin saja. Walaupun
demikian, hal itu tak bisa serta merta dikaitkan dengan adanya benua Atlantis.

Meski demikian, Daud menyambut baik temuan Turangga Seta dan merasa bahwa
kalangan arkeolog wajib memfasilitasi. Kajian secara kritis harus dilakukan.












Penulis


: Yunanto Wiji Utomo


Editor


: Aloysius Gonsaga Angi Ebo










Kumpulan foto Blusukan Candi Sukuh dan Cetho







Blusukan Candi Sukuh




Blusukan Candi Sukuh




Artefak dari situs Candi Planggatan dekat Candi Sukuh




Artefak dari situs Candi Planggatan dekat Candi Sukuh




Relief Candi Sukuh






Relief Candi Sukuh






Relief Candi Sukuh






Relief Candi Sukuh






Relief Candi Sukuh






Arca Garudeya Candi Sukuh






Candi Sukuh






Arca Kura-Kura Candi Sukuh




Candi Sukuh, simbol apa ya..






Garudeya Candi Sukuh




Sistem Drainase Candi Sukuh




relisf Candi Sukuh





Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho 




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho




Candi Cetho