Monday, May 30, 2016

Candi Sekipan





schietbaan temple


Minggu, 22 Mei 2016 saat keluarga ngajak liburan ke Tawangmangu, langsung kepikiran candi yang konon digunakan sebagai tandon air atau bangunan irigasi. 





Lokasi candi ini sebenarnya berada di areal wana wisata Bukit Sekipan Desa Kalisoro Tawangmangu yang sangat ramai pengunjungnya namun keberadaan candi ini jarang disadari oleh para wisatawan pada umumnya 





Bukit Sekipan sekarang dikelola sebagai camping ground, outbond dan wisata alam bahkan sekarang juga di bangun whana wisata permainan anak-anak, kampung Halloween, pemancingan dan kolam renang. Hingga sepanjang jalan menuju wanawisata Sekipan banyak berdiri hotel, villa, depot dan lalu lalang penjaja souvenir, wisata berkuda dan peserta outbond. 





Kabut tebal saat itu menyelimuti Kota Wisata Tawangmangu ditambah hujan rintik khas dataran tinggi membuat rasa dingin cukup menusuk pori-pori tubuh hingga mayoritas pengunjung lebih suka berjaket dan bersedekap. Di kedai-kedai banyak pengunjung yang nongkrong menikmati jahe hangat ditemani camilan pisang gorengan hangat serta suara gareng pung (cicada) yang tak henti-henti bernyanyi. Namun cuaca seperti tak menghalangai kegembiraan dan riuh outbond dan anak-anak bermain 





Lereng lawu sebelah barat memang cukup misterius, dengan banyaknya situs purbakala, ini terbukti dengan keberadaan candi cetha, kethek, sukuh, planggatan, menggung, sekipan serta penemuan situs-situs lain yang jumlahnya banyak tersebar dan cukup unik dengan bentuk arca dan relief yang mirip dengan piramid suku maya serta relief yang terbilang cukup aneh. 





Candi Sekipan Berdiri di antara 2 bukit, dan berada di lembah pada ketinggian 1100 mdpl dan berada di lereng barat daya gunung Lawu. 





Candi Sekipan dengan nama kuno Candi Sekar Jingga ( bunga berwarna merah jingga ) namun nama ini sudah mulai jarang dikenal oleh penduduk setempat. Nama sekipan sendiri adalah sebuah penyebutan bahasa Belanda “sciethbaan) yang berarti lapangan tembak. Sesuai fungsi dan manfaat hutan ini, pada era kolonial digunakan sebagai arena latihan menembak militer Belanda. Hingga fungsi dari candi ini digunakan sebagai tempat tandon air. 





Dalam sejarahnya pada era Kasultanan Mataram era pasca Palihan negari tahun 1755 hutan di wilayah ini sering digunakan tempat ameng-ameng / wisata dan berburu para bangsawan dari Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. 





Pada era Kemerdekaan sampai akhir tahun 70 an tempat ini dimanfaatkan sebagai arena latihan menembak bagi taruna dari angkatan udara dan kepolisian dan sampai saat di dekat wilayah Sekipan juga yaitu “Tlogo Dlingo” masih di gunakan sebagai lokasi gladi perang-perangan oleh pasukan Kopassus. 





Tahun 1983, sekipan dibuka untuk umum sebagai lokasi perkemahan hingga sekarang. Melimpahnya sumber air yang mengalir sepanjang tahun lewat sungai sekipan memudahkan para penggiat alam bebas untuk bermalam di sini. Namun ada yang harus diwaspadai, yakni keberadaan mahluk penghisap darah lintah 





Bila kita amati bentuk dari candi Sekipan ini sangat mirip dengan bangunan utama pada Candi Cetha, Candi Kethek dan Candi Sukuh maka ada kemungkinan candi sekipan juga pada awal pembangunannya berfungsi sebagai punden berundak sesuai konsep tempat peribadatan masa lalu. 









pemanfaatan candi sebagai bangunan irigasi





candi sekipan




Masih terlihat teras / undak candi sekipan




tambahan saluran pipa pada kemuncak candi




outbond di candi sekipan

























Sunday, May 8, 2016

Museum Trinil





Pak Jono Pemandu Museum Trinil baju batik





Kunjungan Historia Van Madioen ke Museum Trinil






Waktu             :
Kamis, 5 Mei 2016




Peserta            :
8 orang  (Widodogb, Tatang, Wija A. , Adung,
Eko, Atik, Tya, Riski)




Tujuan             :
Museum Trinil, Dsn. Pilang Desa Kawu, Kec. Kedunggalar, Kab Ngawi








Museum Trinil, nama ini sangat tidak asing bagi
masyarakat Ngawi dan sekitarnya bahkan seluruh pelajar di Indonesia mengenal
nama ini sebagai tempat ditemukannya fosil pithecanthropus erectus yaitu
manusia seperti kera yang berjalan tegak. Trinil  merupakan  situs Paleoantropologi di Indonesia ,
sebaran penemuan fosil situs diperkirakan radius 3 km dan berada di 3 desa
yaitu: Desa Kawu, Ngancar dan Gemarang Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Kebanyakan penemuan fosil berada di pinggiran sungai Bengawan solo. Letak dari
situs ini dikelilingi oleh aliran Bengawan solo. Di dusun pengkol yang juga
terdapat tikungan aliran sungai sering ditemukan fosil-fosil berukuran besar
dan kecil, bahkan saat sungai surut kita dengan mudah menemukan fosil di
gundukan pasir atau tanah stren sungai, oleh karena itu kegiatan penambangan
tanah dan pasir di larang didaerah ini.


Jadi dimungkinkan Trinil merupakan kawasan di
lembah Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya
zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.





Pak Jono seorang pemandu dan juga penerus juru
pelihara dan merupakan pelopor situs Trinil menceritakan bahwa Eugène Dubois
adalah ahli anatomi berkebangsaan Belanda, sebelum datang ke Jawa di eropa
beliau telah melakukan penelitian manusia purba namun tidak berhasil, informasi
mengenai keberadaan fosil purbakala berasal dari Raden Saleh, seorang pelukis
ternama yang mendapat pendidikan di negeri Belanda. Raden Saleh membawa fosil
gading gajah sebagai cindera mata ke negeri Belanda, mengetahui hal tersebut
Eugene Dubois segera datang ke nusantara. Pertama beliau datang ke Sumatra
tepatnya di Paya Kumbuh, disana menemukan fosil-fosil gajah namun ternyata
bukan generasi gajah purba, kemudian beliau melakukan penelitian di Jawa,
tepatnya di wilayah Kedung Brubus Madiun, disini ditemukan fosil gigi geraham
dan tulang-tulang binatang purba. Berdasarkan cerita rakyat tentang adanya
banyak penemuan balung buto di wilayah aliran sungai Bengawan solo, Eugene
Dubois menemukan fosil Pithecantropus Erectus yang cukup signifikan di wilayah
Trinil yaitu berupa tempurung kepala, tulang paha atas dan tiga gigi. Inilah
awal dari penemuan fosil manusia purba Pithecantropus Erectus dalam jumlah yang
banyak di daerah Sangiran dan aliran bengawan Solo pada tahun 1891. Untuk
memudahkan penelitian fosil manusia purba beliau masuk tentara yang ditugaskan
di Benteng Van Den Bosch Ngawi.





Pada 1891-1893 Dubois menemukan fosil manusia
purba Pithecanthropus erectus serta berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.


Pada era pemerintah Jepang dan era perang kemerdekaan
situs Trinil tidak mendapat perhatian, seorang penduduk bernama Mbah wiro
Balung (karena sering merawat penemuan-penemuan fosil tulang) pada tahun 1967
mulai aktif memelihara situs Trinil dan dianggap juru kunci dan orang pintar
oleh warga sekitar karena sering dimintai tolong untuk mengobati orang sakit
atau keperluan lainnya.





pada tahun 1852 – 1976 Universitas Gajah Mada dan
beberapa kali peneliti dari luar negeri.


mengadakan penelitian di situs Trinil yang di bantu
oleh Mbah wiro dan warga sekitar.


Pada tahun 1979 keberadaan situs Trinil dilaporkan ke
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Hingga akhirnya pada
tahun 1980 situs Trinil dikelola oleh pemerintah, dan 100 tahun penemuan fosil
Pithecantropus Erectus,yaitu tahun 1991 secara resmi didirikan museum Trinil
yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur SOELARSO, pada tanggal 20 November
1991 hingga saat ini mendapatkan pengembangan-pengembangan fasilitas umum yang
cukup memadai, mulai dari Taman, Pendapa, Mushola, tempat permainan anak, arena
outbond dan area kemah.





Saat ini di Trinil berdiri sebuah museum yang
menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus
Erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan
gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng
purba (Bibos palaeosondaicus).





Pak Jono yang merupakan penerus dari mbah wiro Balung,
berujar bahwa selain penemuan fosil era Prasejarah, didaerah Trinil dan
sekitarnya juga terdapat beberapa situs era klasik / kerajaan yaitu : sebuah
Yoni yang berada di punden desa, batu lmpang dan batu gilang. Menariknya juga
banyak ditemukan batu-batu bulat sebesar 
kepalan tangan orang dewasa, apakah batu tersebut merupakan peralatan
manusia purba atau alat upacara ritual kuno, atau dipergunakan sebagai peluru
canon, hal ini masih menjadi pertanyaan. 





Setelah berbincang banyak hal dengan Pak Jono, kami
penasaran untuk observasi ke lapangan, kami menuju ke sungai yang berada di
dusun Pengkol,sengaja kami berjalan kaki walaupun jaraknya cukup jauh. Dalam perjalanan
kami beberapa kali menemukan potongan-potongan kecil  fosil , juga beberapa potongan agak besar yang
dimanfaatkan warga sebagai hiasan temple pagar rumah, namun menurut warga desa sekarang
sudah jarang sekali ditemukan fosil (red. ukuran besar).





Rumah-rumah penduduk di desa ini kebanyakan masih
memanfaatkan papan sebagai dinding rumah, karena wilayah lembah Trinil atau
lereng Gunung Kendeng bagian selatan ini dikenal dengan tipe tanah gerak,
hingga bangunan tembok dan bahkan aspal sering mengalami kerusakan.







Di sungai Dusun Pengkol kami temui banyak orang yang
sedang memancing ikan, menurut mereka jika mau mendapatkan contoh fosil
ditempat itu diharapkan datang di musim kemarau, hingga dasar sungai kelihatan
dan di pasir atau tanah sungai biasanya dapat ditemui potongan-potongan fosil.
widodogb







Monumen penemuan Fosil Phitecantopus Erectus




Museum Trinil Dibangun tepat 100 tahun penemuan Dubois




Phitecantropus Erectus




potongan fosil di daerah lembah Trinil




watu dakon di pinggir jalan museum Trinil




Sungai Pengkol/Bengawan solo




Rumah warga di dsn Pengkol





batu bola hand made manusia purba