Sunday, September 24, 2017

Pejuang Sutoyo Kaibon Madiun








Monumen Pejuang Sutoyo Desa Kaibon




Monumen
pejuang Sutoyo berada di desa Kaibon kec Geger, sebagai peringatan pejuang
lokal dari satuan tentara pelajar, menurut sumber yang pernah meneliti
keberadaan pejuang pelajar yang ada di madiun, satuan pejuang tersebut lebih
tepatnya dari kesatuan Mobpel (mobilisasi Pelajar).  Peristiwa heroik tersebut terjadi kira-kira
bulan Agustus 1949 saat wilayah madiun diduduki Belanda dalam Agresi militer
II.


Berawal
dari pemuda Sutoyo 20 th. yang saat itu sedang mengadakan pertemuan dengan
rekan pejuang lainnya di rumah Pamanya yaitu Bejo Sastro Darsono, tepat di
belakang monumen. Saat itu didatangi tentara KNIL (londo ireng) lebih tepatnya adalah anggota OW (onderneming watch /tentara perkebunan)  hingga terjadi
perkelahian sengit , kemudian salah seorang tentara OW yang lain segera
membidikan senapannya dan menembus tubuh Sutoyo hingga gugur di tempat, namun
peluru yang lainnya juga menyasar pada tentara OW yang lain hingga tewas. Melihat
keduanya menjadi korban, tentara OW segera melapor kejadian itu pada tentara
Belanda dan segera diadakan sweeping mengacak-acak seluruh desa untuk mencari
para pejuang yang lainnya. Semua penduduk ketakutan dan mengungsi ke dusun
Nglongko Balerejo karena disana terdapat markas Batalyon S Sukawati, sedangkan jenazah pemuda Sutoyo oleh tentara belanda di
biarkan dan dilarang di urus oleh warga. Namun Kasirun Sastro Dimejo ayahnya
dan Suwondo 15 th. adiknya  tetap setia
menunggui jenazah Sutoyo, hingga mereka di bawa tentara Belanda ke PG. Kanigoro
yang akhirnya mereka turut gugur di eksekusi Belanda. Jenazah ketiga kusuma
bangsa tersebut di makamkan di Makam Sentono, Ds.Kaibon.  Sujinah ibu Sutoyo dan Suwondo merasa sedih
dalam sehari kehilangan 3 keluarga. Tinggal Sri Hartatik yang waktu kejadian
baru berusia 4 tahun putri Mbah Guru Bejo menemani Sujinah, sebutan  akrab Bejo Sastro Darsono yang memang seorang
guru sekolah rakyat di Kaibon, sedangkan Kasirun Sastro Dimejo  sendiri sebetulnya seorang mandor di PG.
Kanigoro.


Bejo
Sastro Darsono dan ketiga putranya juga tergabung dalam tentara pelajar, yaitu Bayanu,
Sutaryo dan Yoso yang dikomandani putra Kades Kaibon Suprapto. Untuk mengenang
gugurnya para pejuang tersebut, dibangun monumen oleh Pemmerintah desa dan
diresmikan oleh Kades Suprapto Atmodiharjo pada 16 Agustus 1992. Hingga saat
ini masih di uri-uri tradisi cerita tutur kepahlawanan pejuang Sutoyo dengan
mengadakan napak tilas dari Dusun Nglongko Balerejo tempat penduduk yang
ngungsi waktu itu, gotong royong membersihkan monumen dan doa bersama di makam
sentono Kaibon yang di galakan lagi oleh kades Kaibon, Muhammad Sinto.





Sumber :

Artikel
Radar Madiun, agustus 2017

Penelitian pejuang Mobpel oleh Bagus Ninar

Wawancara dengan Pak Pri keponakan Pejuang Sutoyo

Penelusuran Tim Kompas
Madya

Foto : Instagram widodogb



Sunday, September 3, 2017

Eyang Soenardi Eks TGP Madiun





Eyang Soenardi Eks TGP Madiun




Seperti tahun sebelumnya, sahabat Kompas Madya bersama Himadira Unipma Madiun, menjelang hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus menyempatkan diri untuk bekunjung ke salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan sebagai bentuk penghargaan dan penelusuran sejarah kemerdekaan di Madiun, kali ini Eyang Soenardi, seorang pejuang Eks TGP Kompi 2 Brigade XVII Madiun. Beliau tinggal berdua dengan istri tercinta Eyang putri Soetjiati yang asli putri dari daerah Purworejo Jawa Tengah.


Eyang soenardi tahun 2017 menginjak usia 88 tahun, semangat pejuangnya membuat  beliau tampak segar dan masih cukup enerjik walaupun akhir-akhir ini beliau merasa kesehatannya kurang baik, namun secara medis tak ada gangguan penyakit yang berarti. 




saat kami berkunjung yaitu tepatnya pada hari sabtu tanggal 12 Agustus 2017, begitu beliau tahu maksud dan tujuan kami berkunjung, langsung tampak semangat seorang pejuang membara lagi, dengan tertatih Eyang mengajak kami untuk duduk di ruang tamu, setelah saling memperkenalkan diri, eyang segera memberi petuah-petuah tentang pentingnya generasi muda mengetahui betapa kemerdekaan diraih dengan susah payah, nyawa, harta dan harga diri bangsa sebagai taruhannya. kemerdekaan bukan hadiah dari Belanda, kita merebutnya dengan cucuran darah dan airmata. sayang sekali jika generasi muda banyak yang menganggap enteng dan bahkan melupakannya.




Beliau saat aktif di Paguyuban Veteran Madiun biasa ditugaskan sebagai Humas yang bertugas memberi penerangan-penerangan bagi siswa-siswa sekolah maupun instansi-instansi, maklumlah memang setelah masa perang revolusi beliau lebih suka mengabdikan dirinya sebagai Guru dan seniman.





Eyang Soenardi merupakan asli pemuda Madiun yang tinggal di Kelurahan Winongo Gang Rukun, persis dalem yang ditempati saat ini. beliau  mulai ikut membela tanah air sejak usia belasan saat masuk ST dan bergabung dengan Kompi 2 TGP yang bermarkas di ST/SMP 12 Kletak Madiun, sedangkan yang sekarang ada Monumen TGP Jl. TGP Oro-Oro Ombo, merupakan markas tempat para sahabat TGP yang singgah dari berbagai kota yang menempati rumah-rumah dinas Jawatan Kereta Api.





dikisahkan oleh Eyang Soenardi, Kompi 2 TGP Madiun pada awal Belanda Masuk sebenarnya ditugaskan untuk membumi hanguskan bangunan-bangunan penting yang ada di Madiun, agar tidak bisa dimanfaatkan oleh tentara Belanda, namun sebelum hal itu terlaksana keburu Belanda dengan cepat masuk Madiun pada akhir Desember 1948, maka segera perang gerilya berkecamuk di wilayah Madiun, banyak kurban berjatuhan di pihak tentara-tentara Pejuang.





Kompi 2 TGP waktu itu bergeser kearah timur tepatnya di wilayah Desa Gemarang dan beberapa kali berhasil menghadang pasukan-pasukan Belanda, sebuah kisah Tragis dialami Sahabat TGP Bagyo dan Saparno yang gugur sampyuh karena Bom yang dipasang meledak saat mereka memperbaiki bom yang seharusny sudah meledak saat pasukan Belanda lewat di jalan raya Saradan.





banyak kisah memilukan yang dialami para pejuang dan rakyat waktu itu, hingga sebuah rumah Mbah lurah Kuncung Gemarang dibumi hanguskan oleh Belanda karena digunakan sebagai persinggahan Pejuang TGP, dan mbah modin Asan Abu ditembak karena dikira pejuang gerilya, padahal mbah Modin Asan Abu mau memberitahu bahwa kambing sudah disembelih dan siap untuk dihidangkan. 





Begitulah sepotong kisah pejuang TGP Madiun yang harus berpindah-pindah markas dari dusun ke dusun, selain Gemarang juga pernah di Desa Brumbun, Mojopurno dan Desa lainnya saat perang gerilya pada Agresi Militer II Belanda, hingga akhir tahun 1949. setelah masa perang usai, pemerintah melalui departemen pertahanan mengadakan Demobilisasi atau proses penurunan kesiagaan tempur angkatan bersenjata, dengan membubarkan kesatuan-kesatuan pejuang yang ada, termasuk TGP (tentara Genie Pelajar) dengan diberikan penghargaan berupa ganti rugi. dan bagi para pelajar yang tergabung pada TRIP, TP dan TGP diberikan kemudahan untuk melanjutkan pendidikan atau melanjutkan karirnya di militer dengan mengikuti pendidikan kemiliteran. pada saat itu Eyang Soenardi memilih melanjutkan sekolahnya yaitu belajar di SGB dilanjutkan SPG dan bahkan sampai BA dan akhirnya meniti karier sebagai guru pendidikan Dasar diwilayah Kabupaten Madiun, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Sekolah di SD Nglanduk 1 Kecamatan Wungu Kab. Madiun. selain sebagai guru beliau sangat aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, yaitu beliau juga menjadi Seniman Kerawitan dan dalang wayang kulit.




Narasumber : Eyang Soenardi Eks. TGP kompi 2 Brigade XVII Madiun

                       Ketua Lesbumi Kota Madiun, Suharto Sosrodipuro sebagai putra putri eks. TGP