Legenda Merdikan Kuncen
Desa Wanasari Kota Madiun
Di desa Wanasari terdapat sebuah makam besar yang dahulu dikebumikan dimakam tersebut adalah Panembahan Grubuk(g), dahulu bernama Raden mas Timur. juga seorang Adipati Mukmin, putra dari Sultan Demak yang terakhir. Prabu Lintang Tranggana. Tumbuh dewasa, ia kemudian menyerahkan Tahtanya kepada putranya, yang menerima gelar Panembahan Madiun II.
Panembahan yang turun tahta menetap sebagai pertapa di pertemuan sungai Catur dan Sungai Madiun. Yang dulunya tempat pertemuan itu adalah sebuah jurang yang dalam, yang di dalamnya mengalir air dengan suara menderu keras (suwantenipun gumrubug),—karena itu Panembahan tersebut kemudian diberi nama Panembahan Grubug. Setelah kematiannya dia dimakamkan di sisi barat, tanpa cungkup, hanya di biarkan di udara terbuka (ngentak-entak mawon) — karena dia telah berpesan kepada putranya sebelum kematiannya untuk memastikan tidak ada cungkup didirikan di atas makamnya saat dia meninggal nanti.
Pada saat juru kunci pertama, Kyai Amatsarip, sebuah cungkup dibangun di atas kuburannya, tetapi tidak lama kemudian angin bertiup kencang, yang menyeret cungkup menjadi hancur berkeping-keping. Kemudian Sebuah cungkup dibangun untuk kedua kalinya, tetapi juga sama tersapu oleh angin puyuh tidak lama setelah di bangun. Namun sang kyai bertahan, dan membuat cungkup kembali yang lebih indah, tetapi tidak berlangsung lama, awan mendung datang hujan deras disertai angin pun datang, cungkup kemudian ditiup angin kencang,—dan cungkup itu runtuh lagi. Setelah itu, tidak ada lagi cungkup yang didirikan.
Di makam itu tidak tidak ada yang berani untuk melakukan penistaan karena malatti, tidak ada burung yang bisa terbang di atasnya, karena akan jatuh mati ke tanah; atau, jika seorang pria pergi sendirian ke sana dalam kesendirian, berdoa untuk menjadi seorang perwira, dan tidak membersihkan dirinya (Djunub – pembersihan diri), dia akan diseret dikeluarkan dari kuburan, tanpa mengetahui siapa yang menyeretnya. Dan itu tetap begitu sampai hari ini.
Ada juga dua sumur di sana, yang satu disebut Toya Madiun, yang lain disebut Toya Sepuh, yang pertama ke arah barat laut barat, dan yang kedua persis di utara dari Makam.
Air Madiun itu dulunya memiliki kekuatan untuk segera menyembuhkan luka yang baru saja terkena senjata, atau memar setelah jatuh. Toya-sepuh (air merona merah) memiliki kekuatan sebagai berikut: ketika dia ingin menjadi seorang pandai besi, dia akan menyendiri mengasingkan diri di sumur itu dan membuat keinginannya; — dan ketika doa terjawab. lalu ia segera mengeluarkan palu, tang dan alat pandai besi lainnya, dan segera menorehkan namanya sebagai tukang yang nanti akan menjadi seorang Pandai besi yang luar biasa (wahu tiang lajeng misuwur sahe dedamellannipun). Dan disini juga terdapat legenda bahwa dulu di dekat sumur Toya Sepuh adalah sebuah tempat Pandai besi milik dari Kyai Supa.
Dua puluh tahun yang lalu air Madiun dijual oleh juru kunci Redja moehamad seharga 0,25 dengan lantjangan (perahu berbentuk keranjang roti). bagi pembeli percaya bahwa air ini sebagai jaminan untuk kesehatan dan kemakmuran. Keuntungan yang bagus untuk Redjamoehamad. Akan tetpai Sekarang penjualan telah berhenti dan tempat itu ditumbuhi rumput liar. (J. K, 1906, 527 dst)
FB. Forkom Angon
Foto hanya ilustrasi.
Foto : Nisan Makam Kali Catur.