Friday, July 23, 2010

Gerakan Saminisme di Madiun







Gerakan Sosial Politik dan Revolusioner


terhadap Kolonial Belanda di Madiun






Sekitar tahun 1870, di Jawa mulai timbul banyak pergerakan-pergerakan sosial yang berlatar belakang protes terhadap ketidak adilan pemerintah kolonial Belanda dan pengaruh-pengaruh asing lainnya, gerakan sosial tersebut diantaranya dikembangkannya ramalan Jayabaya bahwa akan hadirnya Ratu Adil di tanah Jawa yang akan merubah tanah Nusantara menuju zaman keemasan yang adil, makmur, dan sejahtera. Kemudian kepercayaan masyarakat Jawa tersebut diperkuat dengan lahirnya tokoh besar Raden Ngabehi Ranggawarsito pada tahun 1802, seorang Pujangga besar Kraton Kasunanan Surakarta, beliau menciptakan banyak karya sastra yang sangat terkenal hingga kini, salah satunya karya sastra yang berisi ramalan tentang datangnya Zaman Keemasan Tanah Nusantara dan bahkan beliau mampu meramal kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan tepat dalam sebuah bait tembang Sinom :





Sangkalane maksih nunggal jamanipun


Neng sajroning madya akir


Wiku Sapta ngesthi Ratu


Adil parimarmeng dasih


Ing kono kersaning Manon





Terjemahannya sebagai berikut :


Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.


Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).


Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.


Akan ada keadilan antara sesama manusia.


Itu sudah menjadi kehendak Tuhan





Akibat gerakan sosial seperti diatas, mampu meningkatkan mental rakyat Jawa, mereka percaya akan hadirnya kemerdekaan di tanah Nusantara. Akibatnya banyak bentuk-bentuk pergerakan melawan penjajah baik dalam bentuk protes sosial politik maupun gerakan yang bersifat revolusioner.





Pergerakan sosial politik yang berlangsung lama di Madiun adalah gerakan Samin yang sebelumnya sudah berlangsung di daerah Blora, Pati, Bojonegoro dan sekitarnya mulai tahun 1907. Gerakan ini memang bagian dari Gerakan Samin yang berpusat di Blora yaitu di Desa Bapangan Kulon sekitar 45 km dari Kota Blora, pencetusnya adalah Kyai Samin atau Kyai Samin Surosentiko yang kemudian ditangkap Belanda dan di buang ke Sumatera Barat kemudian meninggal di penjara tahun 1914. Namun gerakan ini tidaklah mati begitu saja, oleh Kyai Engkrek dari Desa Klopoduwur, 10 km dari Kota Blora gerakan ini di kembangkan kembali dan akhirnya sampai meluas ke wilayah Madiun.





Di Daerah Madiun pusat gerakan Samin berada di Desa Ngegong, Kota Madiun, sekitar 3 km dari pusat Kota, di bawah pimpinan Kertotayem atau Kertotaruno. Beliau adalah seorang penjual arak jowo ”arjo” (minuman keras). Pengikutnya adalah kaum petani, buruh dan buruh tani, wilayahnya penyebarannya mencakup Kecamatan Balerejo, Pilangkenceng, Mejayan, Saradan dan Gemarang. Sesudah tahun 1907 gerakan samin di Madiun mengubah namanya menjadi ”Gerakan DAM (Dadio Opo Mbangkang”  atau WONG DAM, gerakan ini bersifat membangkang (mbalelo) dengan cara memutar balikan perintah. Misalnya: diperintah kerja rodi ”besuk membawa cangkul” maka mereka hanya memanggul cangkul saja, disuruh bayar pajak, mereka menjawab ”ini tanah saya sendiri pemberian Tuhan, kok disuruh bayar pajak” atau waktu membayar  pajak” ini uangnya siapa? Dijawab petugas ”ya uangmu” maka uang itu langsung dibawa pulang lagi. Para tokoh DAM ini sering ditangkap dan disiksa, namun tekad mereka sudah bulat untuk terus membangkang terhadap pemerintah Belanda yang sewenang-wenang.





Dengan gerakan wong DAM ini ternyata cukup ampuh untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda, bahkan sampai akhir kekuasaanya di Jawa, Belanda tidak mampu membrantas gerakan dan faham saminisme dan  DAM di Madiun.





Pengikut DAM ini, sampai sekarang masih banyak di wilayah Madiun, dengan ciri mereka suka memakai pakaian serba hitam (baju penadon dan celana dobyoh seperti warok dan ikat kepala hitam ). Namun sekarang mereka rata-rata sudah berusia lanjut dan  tidak mengembangkan ajaran-ajaran DAM lagi, namun kebiasaan mbalelonya  masih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.   





Gerakan revolusioner juga banyak terjadi di wilayah Madiun, diantaranya pada  tahun 1870 di daerah Mlilir terjadi huru-hara pembunuhan terhadap  Bangsa Belanda dan kaki tangannya, berawal dari ketidak puasan terhadap peraturan sewa tanah (cultuur stelsel), gerakan ini di pimpin oleh Raden Sumowidjojo, yang masih kerabat dari Bupati Madiun Raden Mas Tumenggung Ronggo Ario Notodiningrat, pengikutnya para petani di daerah Mlilir, Ponorogo bagian utara, Uteran, dan Kebonsari. Akhirnya Raden Sumowidjojo di tangkap dan tidak diketahui nasibnya.





Di daerah Ponorogo, timbul gerakan anti Belanda dengan mengembangkan slogan ”nggetok walondo” (memenggal belanda) dan ”ngusir kompeni” (mengusir Belanda). Gerakan ini dipimpin oleh Raden Ahmad Suhada dari Kanten Ponorogo. Gerakan ini pun akhirnya lenyap setelah Belanda menindak tokoh-tokohnya.





Di daerah Muneng, tahun 1876 terjadi perampokan-perampokan, yang di rampok hanyalah hartanya orang Belanda dan Cina yang ada di Caruban. Harta hasil rampokan kemudian dibagikan kepada fakir miskin di daerah ini, gerakan ini dipimpin oleh Tirtoredjo, dan akhirnya gerakan ini dapat ditumpas pula, Tirtoredjo ditangkap Belanda dan tidak diketahui nasibnya.







Sumber : Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980


Gambar: http://sosbud.kompasiana.com








Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun, Saminisme di Madiun


Keadaan Politik, Sosial dan Ekonomi di Madiun Pada Masa Kolonial Belanda







Keadaan Politik, Sosial dan Ekonomi di Madiun 

Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda 








Penerapan Politik Kolonial dalam Pemerintahan Kabupaten     





Sejak tahun 1855, pemerintah Belanda mulai mencampuri pemerintahan Bupati-Bupati di Madiun dan sekitarnya, kemudian Pemerintah Hindia Belanda menyusun struktur pemerintahan di Madiun, sebagai berikut: 


  1. Residen                       : A. Rutering

  2. Bupati Madiun            : Pangeran Ronggo Prawirodiningrat

  3. Sekretaris Residen      : J.D. Mispolblom Beiyer

  4. Ambtenaar Residen    : CH. Flew

  5. Ambtenaar Klas II      : F. Beiyerink

  6. Ka. Kejaksaan             : Mas Ngabehi Mertodipuro

  7. Ka. Penghulu              : H. Imam Hadjali

  8. Kapt. Urusan Cina      : Tan Ting Kaauw

  9. Letnan Urusan Cina    : Tan Goang Ik

  10. Ka. Pemerintahan Perkotaan   : Dr. M. Groot

  11. Sub Kommisien van Waldadigheid: A.H. Baron De Kock



Daerah-daerah Kabupaten kecil di wilayah sekitar Madiun mulai di hapus. Kekuasaan pemerintahan   kabupaten bukan lagi di tangan Bupati dan bawahannya sebagai wakil Kasultanan Jogjakarta, semua lini telah di kuasai Pemerintah Hindia Belanda. Bupati, wedono, mantri dan bawahannya adalah pegawai biasa, tidak mempunyai hak atas keturunannya, hanya pemerintahan desa (lurah) yang masih di beri kuasa untuk mengangkat staf-stafnya. 





Politik  Ekonomi Monopoli di terapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi kas negara yang sedang kosong, dengan  cara menguasai tanah-tanah perkebunan dan pertanian rakyat yang menghasilkan bahan eksport, yaitu: kopi, gula, nila, tembakau dan kapas. Kewajiban kerja rodi tetap dilaksanakan, yang tidak terkena rodi, sebagai gantinya mereka dipungut pajak, satu gulden  tiap kepala.   





Pada tahun 1911 didirikan Sarekat Islam di Solo sebagai perkembangan bentuk baru dari Sarekat Dagang Islam yang lahir di Kota Solo juga pada dekade pertama abad XXI. Para pendirinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang -orang Cina tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ini merupakan reaksi terhadap krestenings politik (politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan oleh pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan eropa.





Penerapan Politik Kolonial Liberal di Madiun





Pelaksanaan politik Ekonomi Monopoli dianggap kurang berhasil menutupi kas dan hutang-hutang pemerintahan Kerajaan Belanda, kemudia Van Den Bosch mencetuskan politik Cultur Stelsel untuk segera menutupi defisit keuangan di Pemerintah Belanda. Pelaksanaanya, rakyat diwajibkan menanam tanaman jenis tertentu, wilayah Karisidenan Madiun, rakyat diwajibkan menanam tebu, nila, tembakau dan kapas. Tebu ditanam di daerah sekitar Kotapraja Madiun, nila di tanam di daerah Caruban, tembakau ditananm di daerah Balerejo dan Moneng, dan kapas ditanam di daerah Kebonsari. Pada pertengahan abad ke 19 tanaman-tanaman tersebut menjadi bahan eksport yang menghasilkan keuntungan yang tak terhingga.


Aturan Tanam Paksa (cultur stelsel), antara lain:


  1. Rakyat petani diwajibkan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tumbuhan tertentu Prakteknya : tanah diminta dengan paksa, yang dipilih tanah yang subur.

  2. Tanah pertanian yang diserahkan meliputi luas separuh bagian luas tanah pertaniannya >< Prakteknya : tanah yang diminta lebih dari separuh, bahkan sampai seluruh desa.

  3. Tenaga penanam disediakan dari orang-orang yang bukan petani >< Prakteknya : tenaga diambil dengan cara rodi, ditempatkan jauh dalam jangka waktu berbulan-bulan

  4. Tanah yang disewakan bebas dari semua pajak

  5. Hasil penanaman, diserahkan kepada pemerintah ditempatkan pada tempat tertentu dengan harga sesuai harga pasar setempat >< Prakteknya : tidak dibeli, hanya di ganti angkutannya saja.

  6. Jika tidak menghasilkan karena kekeliruan petani , akan ditanggung pemerintah Belanda >< Prakteknya : jika tidak menghasilkan, petani diberi sangsi pengulangan penyerahan tanah.






Akan tetapi peraturan yang tampak meringankan rakyat tersebut, dalam pelaksanaanya justru mengakibatkan penderitaan rakyat yang luar biasa.





Pada pertengahan kedua abad ke 19, semua hutang luar negeri Pemerintah Belanda mampu teratasi dan bahkan banyak orang Belanda menjadi yang kaya raya atau kaum kapitalis, akibat adanya politik tanam paksa tersebut.


Kaum kapitalis Belanda mulai ingin menanamkan modalnya di Hindia Belanda, hingga akhirnya Pemerintah Belanda pada tahun 1870, membuka pintu untuk masuknya modal swasta ke tanah Hindia Belanda.


Tahun 1880, mulai banyak orang asing yang menanamkan modalnya di Madiun pada umumnya di bidang pertanian, meliputi tebu, kopi, tembakau dan perkayuan.    





Dalam bidang transportasi pada tanggal 6 Juni 1878, Pemerintah Belanda membuka jalan lalu lintas kereta api di wilayah Madiun dengan rute sebagai berikut :


  1. Lein Spoor Sidoarjo – Mojokerto mulai 16-10-1880

  2. Lein Spoor Mojokerto – Kertosono mulai 25-6-1881

  3. Lein Spoor Kertosono – Kediri mulai 13-8-1881

  4. Lein Spoor Kerosono – Madiun mulai 1-7- 1882

  5. Lein Spoor Kediri – Blitar mulai 16-6-1884






Jalur-jalur Kereta api tersebut mempunyai peranan yang cukup besar bagi perkembangan industri di wilayah Jawa Timur, fasilitas kereta api ini banyak dimanfaatkan untuk perjalanan para pejabat, pengusaha dan tentara Belanda.  





Perubahan arah politik mulai berubah di Kerajaan Negeri Belanda, diawali dengan naik tahtannya Ratu Wilhemina Paulina Maria pada tanggal 31 Agustus 1898, menggantikan ayahnya Raja Wilhem III,  berdasarkan pidato Ratu Wilhemina, maka di Hindia Belanda dilakukan program Trilogi Perbaikan ( Edukasi, Irigasi dan Imigrasi) sebagai politik balas budi (Politik Etis) terhadap tanah jajahan yang telah banyak menghasilkan dan memperkaya Kerajaan Negeri Belanda.






Sumber : Sejarah Kabupaten Madiun, 1980


Friday, July 16, 2010

Sejarah Tanah Perdikan Taman, Madiun








Masjid Taman tempo doeloe




Sejarah Tanah Perdikan Taman







Pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, Desa Taman masih berupa hutan belantara, tetapi setelah ibukota Kabupaten Madiun di Wonorejo hancur akibat peperangan melawan Mataram pada tahun 1590, Bupati Pangeran Adipati Pringgoloyo (pengganti Raden Ayu Retno Djumilah), merencanakan membangun istana kabupaten di hutan Taman, di daerah ini terdapat rawa-rawa yang luas dan berair bersih seperti telaga (sekarang disebut ”Ngrowo”).





Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.





Tahun 1725 ketika yang berkuasa di Madiun Pangeran Mangkudipuro, di Taman didirikan Makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama Islam di wilayah Kabupaten Madiun. 





Pada tahun 1784, Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo I wafat, oleh iparnya yaitu, Sultan Hamengku Buwono I, makam Taman yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bupati Mangkudipuro         ( lawan politiknya) ditetapkan sebagai makam kerabat beliau. Begitu seterusnya, ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Taman, yaitu : Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Orang menyebut Makam Taman adalah Makam Karanggan (makam keluarga Ronggo) sejak saat itu pula Desa Perdikan Taman di kukuhkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan piagam yang ditulis dengan huruf Arab Jawa (pegon) dengan tinta kuning emas, Pemimpin desa Taman bergelar ”Kyai” yang berkuasa penuh mengelola desa.





Pemimpin Desa Perdikan Taman (Kyai) diberi tanggung jawab untuk merawat Makam Taman dengan biaya dari hasil pertanian desa setempat. Hingga sekarang ada sebelas kyai yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Desa Perdikan Taman, yaitu : Kyai Misbach, Kyai Ageng Moch. Kalifah, Kyai Moch Rifangi, Kyai Donopuro I, Kyai Benu, Kyai Surat, Kyai Donopuro II, Kyai Imam Ngulomo, kyai tirto Prawiro, Kyai Raden Kabul Umar, Kyai Banuarli.





Berbeda dengan desa perdikan lainnya, Taman diwajibkan pula merawat sebilah pusaka istana Jogjakarta sebagai pengaman (piandel) Desa Taman, berupa tombak panjang dengan tangkai sekitar 4 meter, namanya ”Kyai Sidem Pengayom” sampai sekarang pusaka ini disimpan dirumah Kyai. 





Pada tahun 1754 oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I, dibangunlah masjid Donopuro, Masjid ini bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun. 





“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I . Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun. 





Menurut Raden Mas Suko Pramono tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe. Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak.





Masjid Kuno "Donopuro" Taman, Madiun




Pendopo Masjid (Tampak Samping)




Pintu Masuk Makam-makam Bupati Madiun



Prasasti penetapan cagar budaya makam Taman



gerbang makam bupati-bupati madiun di makam taman



Makam R. Rg. Aryo Notodiningrat



Makam R. Ronggo Prawirodirjo I



Makam Pangeran Dipokusumo



Sumber: 

1. Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980

2. Radar Madiun








Sunday, July 11, 2010

Sejarah Desa Perdikan Banjarsari





Gerbang Masjid Kuno Banjarsari 


Sejarah Desa Perdikan Banjarsari





Desa Banjarsari adalah bertetangga dengan desa Sewulan, Desa ini merupakan
hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II. Kata Banjarsari diduga berasal dari
“Ganjar” dan “Sri” ( hadiah sang raja)





Ketika Sultan Hamengku Buwono I naik tahta 13 Pebruari 1755, Kabupaten
Singosari, Malang  yang merupakan wilayah Mancanegara timur, membangkang
terhadap Sultan Hamengku Buwono I, sudah semestinya ini merupakan tugas dari
Wedono Bupati Mancanegara timur di Madiun yaitu Bupati Ronggo Prawiradirjo I.


Bupati Ronggo Prawiradirjo I bersama 40 prajurit pilihan dan seorang santri
dari Tegalsari bernama Muhamad Bin Umar  berangkat ke Singosari, dipinggir sungai
Porong, atas permintaan Muhamad Bin Umar, perjalanan berhenti dan menanak nasi,
nasi bukan untuk dimakan, akan tetapi merupakan sarana agar jika masuk ke
istana Bupati Singosari tidak dapat diketahui oleh prajurit jaga. Nasi liwet
tersebut diartikan “selamat lewat” dan ternyata benar Rongggo Prawirodirjo
beserta prajurit berhasil masuk ke istana tanpa diketahui prajurit musuh.
Kemudian Bupati Singosari dibawa menghadap Sultan Hamengku Buwono di
Jogjakarta.





Sri Sultan kagum saat mendengar cerita Ronggo Prawirodirjo tentang
kesaktian Muhamad Bin Umar, kemudian Sri Sultan memberi hadiah tanah sebagai
Desa Perdikan, yang sekarang disebut Desa Banjarsari pada tahun 1763 dan dikuti
pembangunan Masjid Besar Banjarsari atau berselang 20 tahun setelah pembangunan
masjid Sewulan oleh Bagus Harun (1743). Sekitar tahun 1793 Desa  perdikan
Banjarsari dipecah menjadi dua bagian yaitu Desa Banjarsari Wetan dan Desa
Banjarsari kulon.





Cerita asal mula Desa Perdikan Banjarsari dalam versi lain sebagai berikut
: Berawal dari kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi
peperangan melawan Prabu Joko , seora
ng adipati
Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung)
Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan, dan bagi sebuah kerajaan besar
seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima. Pangeran Ronggo, seorang
Bupati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui
seorang cerdik pandai dan bijak bestari, beliau adalah Kiai Ageng Muhammad
Besari di Tegalsari, Ponorogo.





Kepada Kiai Muhammad Besari,
Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan
peperangan.


Kiai Muhammad Besari
menyanggupi. Karena usia beliau sudah tua beliau memanggil santri muda
sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah
panji-panji Mataram.
Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu
bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya. Kyai Muhammad
Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan
peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan
mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi,
sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat. Kyai Muhammad Bin Umar
memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang
(Singosari). Perang diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Kyai Muhammad Bin
Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa
syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum
mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.





Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana
pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa
menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan
pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa
galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.


Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu.
Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah
kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit
Singosari yaitu prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di
hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.


Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu
Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira
dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih
wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa.
Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom
    ( perdikan ) , tanpa dibebani pajak.


Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di
dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai
Muhammad Besari.
Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa
itu Desa Banjasari.





Ketika Desa Banjarsari belum terpecah penguasanya berturut-turut, Kyai
Ageng I Muhamad Bin Umar. Kyai Ageng II. Kyai Muhamad Imron, Kyai Ageng III
Muhamad Maolani, Kyai Ageng ini adalah hanya merupakan wali, karena Tafsiranom
putra Kyai Ageng II masih berusia 3 tahun, setelah dewasa sekitar tahun 1793 atau
dalam versi lain pada + 1803-an sebagian daerahnya diberikan kepada Muhamad
Maolani atas jasa beliau.





Penguasa selanjutnya dari kedua desa tersebut adalah :


Desa
Banjarsari Wetan
: Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai sosro Ngulomo, Kyai Abdul
Hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji.


Desa
Banjarsari Kulon
: Kyai Muhamad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Jayadi II, Kyai Mukibat
dan Kyai Joyodipuro.


Kemudian mulai tahun 1963 status desa perdikan dicabut oleh pemerintah
menjadi desa biasa yang dipimpin oleh Kepala Desa, yaitu Raden Purnomo Kades
Banjarsari Wetan  dan Sumaryono Kades Banjarsari Kulon.





Kyai Raden Abdul Hamid selain sebagai pemimpin Desa perdikan Banjarsari
Kulon, beliau juga pendiri Perguruan Ilmu Sumarah ( kepercayaan Sumarah) yang memiliki
siswa ribuan jumlahnya, bahkan ada beberapa dari Australia, Amerika, Belanda,
Belgia dan Selandia Baru. Kepercayaan sumarah diturunkan di Jogjakarta tahun
1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Abdul Hamid sebagai murid pertama,
kemudian dikembangkan di daerah Madiun.





Sebagaimana desa perdikan lainnya, setiap bulan Maulud, kyai dengan
beberapa anggota pemerintahannya wajib menghadap Sri Sultan di Keraton
Jogjakarta sebagai tanda bahwa masih setia dan taat pada pemerintahan
Kesultanan Jogjakarta. Kesetiaan itu dapat dibuktikan ketika Pendopo Kabupaten
Madiun terbakar habis akibat perang Diponegoro sekitar tahun 1840, Pendopo Desa
Banjarsari dibongkar untuk mengganti pendirian kembali Pendopo Kabupaten
Madiun.





Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari
selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah
masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Di perdikan
tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu
rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero
lor” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah
Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.

Desa perdikan Banjarsari Kulon dihapus menjadi desa
biasa pada tanggal 23 Oktober 1963. Berpedoman kepada  pemberhentian R. Djojodipoera yang menjadi
Kyai Kepala Perdikan, dengan surat keputusan Bupati R Kardiono, BA No
D/55/Dsft/Pbh/63. Pada tanggal 6 Juni 1964 dilantik kepala desa pertama R
Soemaryono dipilih melalui pilihan langsung 28 April 1964.





Data Potensi Cagar Budaya Desa Banjarsari Wetan dan
Banjarsari Kulon
















































































No


No Reg. Kab Madiun


Nama Benda / Obyek


Keterangan


1.


003/CB/DGG/BNCB-ISL/2013


Masjid dan Komplek Makam


 beberapa kali direhab


2.


011/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Lumpang Batu





3.


012/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Lumpang Batu





4.


013/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Muta shorof





5.


014/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Akidah Tauhid





6.


015/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Al Quran





7.


016/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Akidah Kewalian dan Pertanyaan Jawab Sholat Kematian





8.


017/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Al Fiah Dasar-dasar Bahasa Arab





9.


018/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Fiqih





10.









11.





Rumah Penyimpanan Pusaka “Dalem kidul”


sdh dibongkar 








Rumah
Penyimpanan Pusaka “Dalem lor”


Padepokan sumarah








Sumber : 


Buku Sejarah Madiun, 1980

Makalah “Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Cagar
Budaya”  Kabupaten Madiun


Tokoh Masyarakat / ex. Pamong Bapak Haryono

Gambar : Grup Facebook KeluargaBanjarsari Wetan & Kulon Dagangan
















Saturday, July 10, 2010

Sejarah Tanah Perdikan Sewulan






Situs Masjid Sewulan


Sejarah Tanah Perdikan Sewulan




Sejak berdirinya masjid bentuk bangunan masih dipertahankan. Seperti tembok yang tebalnya mencapai satu meter dan kolam tempat wudhu yang terletak persis di depan masjid sama sekali belum tersentuh. Sedang di lingkungan Masjid Agung Sewulan terdiri dari pintu gapuro, halaman Masjid yang di tanami dengan Sawo Kecik, Mahardika, Bunga Tanjung, dan di lengkapi dengan kolam pesucian yang berada tepat di depan serambi Masjid sehinnga para jama’ah dengan Otomatis tidak akan membawa najis dari luar sekaligus sebagai tempat untuk berwudhu. Adapun sebagian makna Filosofis / Kinayah / simbol-simbol tadi adalah sebagai berikut:





1. Pintu Gapuro, yang berasal dari kata Ghofuro diharap orang dalam hidupnya selalu memohon ampun kepada Gusti Alloh yang bersifat Al-Ghofur, Dzat Yang Maha Pengampun.





2. Sawo Kecik, diharap manusia dalam kehidupannya selalu melakukan kebaikan (tansah junjung lelaku ingkang sarwo becik).





3. Tanaman Mahardikan (pohon mertega), dengan harapan setelah mengerjakan semua yang terpuji maka manusia akan memeroleh kemerdekaan / kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.





4. Bunga Tanjung, adalah sebagai pengingat pada orang tua agar terkadang juga menyanjung pada anak-anak atau seseorang yang di bawah umurnya yang intinya juga menghormati pada yang lebih muda.





5. Kolam pesucian yang mengandung makna setiap manusia yang menginginkan untuk masuk dalam kerajaan Alloh harus dalam keadaan bersih dan suci dari semua kotoran dan najis, sebab Dzat Alloh adalah bersih (Al-Qudus).





6. Serambi Masjid, yang biasa dipergunakan untuk ber Tholabul ‘Ilmi khusus nya ilmu agama, karena seorang hamba yang mengharapkan bisa Wushul ilallooh (sowan lan tumeko marang Gusti Allah ) maka orang tersebut haruslah menguasai, memahami dan menjalani semua aturan dan syarat untuk menjadi seorang hamba yang siap mengabdi pada Tuannya (Lungguhe kawulo marang Gusti).





7. Induk Masjid yang terdiri dari 4 pintu dan 5 jendela yang bermakna ;seorang hamba Alloh yang sedang beribadah kepada Alloh sebelumnya harus dapat menguasai, menundukkan dan menjaga semua panca inderanya (lubang 9 / Howo Songo), karena masuknya hawa nafsu itu melalui panca indera tersebut





8. Empat tiang penyangga induk Masjid adalah simbol dari 4 Madzhab, supaya orang Islam mengikuti Ulama’ yang menjadi pewaris Nabi khususnya Imam 4 yaitu; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Chambali apabila seseorang tidak mampu untuk ber Ijtihad dalam memahami hukum-hukum Islam.





9. Atap Masjid yang bertingkat 3, bermakna setelah seseorang mengaku Islam maka tidaklah cukup hanya dengan bersyariat saja maka sebaiknya di teruskan dengan 3 tingkat yang selanjutnya, yaitu; Thoriqoh, Ma’rifat dan Chaqiqot yang sudah tidak bisa untuk di pisah-pisah lagi atau harus berjalan bersama-sama (Walloohu A’alam bishshowaab).





Pembangunan Masjid Agung Sewulan di kerjakan langsung oleh beliau Kyai Ageng Basyariyah dan menantu beliau, (R. Mas Muh Santri / Tumenggung Alap-Alap Kuncen, Caruban, Madiun) sebelum membangun Masjid tersebut Kyai Ageng Basyariyah menghendaki posisi bangunan Masjid agak ke selatan dari posisi pengimaman dengan harapan semua anak cucunya kelak menjadi orang ‘Alim dan Sholeh, sedang menantunya (R. Mas Muh Santri) menghendaki letak pengimaman di sebelah utara dengan harapan agar semua anak cucunya kelak menjadi orang yang terhormat atau seorang Umaro’, akhir kesepakatan adalah pengimaman Masjid di letakkan tepat berada di tengah seperti yang ada seperti sekarang ini dengan harapan anak cucunya kelak selain menjadi orang yang terhormat atau seorang priyayi juga menjadi seorang Ulama’.





Bangunan Masjid dengan pondasi dan tembok dari bata merah yang berukuran ± 20 cm X 40 cm yang di pasang dengan adonan tanah liat dan badeg tebu agar bangunan tersebut kuat dan tidak mudah retak. Sedang atap masjid terbuat dari kayu yang di bentuk Sirap, pada tahun 1922 atap masjid yang berupa sirap diganti dengan genting yang terbuat dari tanah liat di karenakan sudah banyak sirap yang lapuk karena di makan usia, tahun 1924 lantai masjid di renofasi dengan tegel, di tahun 1986 genting masjid di ganti lagi dengan genting baru yang lebih berkualitas.





Kolam yang berukuran 4 x 5 meter itu sendiri sekarang jarang digunakan. Maklum masyarakat biasanya lebih memilih berwudu di tempat yang sudah disediakan. Tapi sebagian warga pendatang masih percaya bahwa air dalam kolam itu bisa mempercepat balita untuk bisa berjalan. Biasanya setelah mandi di kolam itu, beberapa bulan selanjutnya bisa berjalan





Banyaknya ukiran kaligrafi disetiap sudut membuat nuansa Islam semakin kental. Apalagi mimbar (tempat untuk kutbah) yang ada sekarang juga merupakan warisan sejak berdirinya masjid tersebut. Meskipun demikian mimbar itu masih terlihat cukup elegan.





Sewulan sendiri berasal dari kata sewu (seribu) dan wuwul (ukuran luas sama dengan hektar) jadi sewu wuwul adalah 1.000 ha. Dari nama tersebut dapat diartikan bahwa Desa Sewulan adalah tanah hadiah yang luasnya 1000 ha. Oleh Raja yang berkuasa pada waktu itu. Ada juga berdasarkan cerita tutur berasal dari seribu bulan (Sewu Wulan) karena bertepatan dengan bulan ramadhan disaat Laillatul Qodar





Berdasarkan cerita rakyat sewulan, pendiri Desa Sewulan adalah Bagus Harun, seorang santri dari Tegalsari Ponorogo. Pada masa pemerintah Kasunanan Paku Buwono II di Kartasura, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap kekuasaan Kompeni Belanda di bawah pimpinan Tai Wan Sui. Pada tahu 1741 terjadi peperangan hebat di Kartasura. Susuhunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada Kyai Hasan Besari di Tegalsari, tetapi oleh Kyai besari hanya di kirim seorang santrinya bernama Bagus Harun. Bagus Harun dapat memenangkan pertempuran di Kartasura, kemudian Bagus Harun di beri hadiah tanah yang dipilihnya sendiri seluas 1000 wuwul / ha. Maka sejak tahun 1742 Desa Sewulan mendapatkan kemerdekaan penuh dan secara turun temurun dipimpin oleh seorang Kyai keturunan Bagus Harun atau yang terkenal dengan Kyai Ageng Basyariah.





Makam Kyai Ageng Basyariyah berada di kompleks makam Sewulan di belakang Masjid Agung Sewulan, tepatnya di cungkup utama. Di cungkup utama tersebut, makam Kiai Ageng Basyariyah diapit oleh putrinya (Nyai Muhammad Santri) dan menantunya (Kiai Muhammad Santri). Ketiga makam tersebut di naungi kain berwarna hijau. Tepat di depan makam Kiai Ageng Basyariyah terdapat songsong tiga tingkat berwarna hijau ( Songsong Tunggul Nogo). Songsong ini dihias dengan sepasang naga di bawahnya dan difungsikan sebagai rak sederhana untuk tempat Al Quran dan surat yasin.





Adapun pemimpin Desa Perdikan Sewulan hingga tahun 1962 adalah: 



  1. R. Mas Bagus Harun (Kyai Ageng Sewulan I) 

  2. R. Mas Maklum Ulama (Kyai Ageng Sewulan II) 

  3. R. Mas Mustaram I (Kyai Ageng Sewulan III) 

  4. R. Mas Mustaram II (Kyai Ageng Sewulan IV) 

  5. R. Mas Rawan (Kyai Ageng Sewulan V) 

  6. R. Mas Wiryo Ulomo (Kyai Ageng Sewulan VI) 

  7. R. Mas Ichwan ‘Ali (Kyai Ageng Sewulan VII) 




Ciri kekaryaan Desa sewulan adalah kerajinan dari besi (pande besi), pendirinya Nitikromo dari Jogjakarta dan Nuryo, barang yang dihasilkan adalah alat-alat pertanian, juga terdapat seorang empu pembuat keris pusaka yang bernama Mohamad Slamet, masih keturunan empu Suro dari Demak.






Presiden RI yang ke 4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan salah satu keturunan ketujuh Kiai Ageng Basyariyah. Jadi di Sewulan inilah, tempat bermain tokoh yang pernah menjadi Presiden RI itu, sebelum akhirnya hijrah ke Jombang. 



1. Nyai Santri, sbg keturunan pertama / anak dari Kyai Ageng Basyariyah.
2. Ky Maklum Buntoro
3. Ky Mustaram/Muhtaram
(Konon menikahi 2 wanita. Salah satu istri beliau yg bernama Nyai Kuning, adalah janda dari seseorang yang masih leluhur Bung Karno. Mungkin dari daerah Tulungagung ). Salah satu keturunan dari nyai kuning dan Kyai Mustaram adalah:
4. Nyai Ilyas, berputra:
5. Nyai Nafikah ( digarwo KH Hasyim Asy'ari Tebuireng ) berputra
6. KH Abdul Wahid Hayim
7. Gus Dur


Ndalem Kyai Ageng Sewulan (rumah Ibu Soekotjo)




Ruang tengah Ndalem Kyai Ageng Sewulan




dr kiri :Bp. Mamak Sewulan (tokoh Masy), Bp Koirul (pemangku rumah), Bp. Janus, Bp. Dwi Hamzah


Selain Gus Dur, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai keturunan Kiai Ageng Basyariyah. Almarhum KH Abdul Basith bin Mahfudz, Pengasuh PP Oro Oro Ombo Madiun yang cukup kharismatik juga termasuk bani Basyariyah. KH. Abdul Basith adalah putra Mbah Mahfudz, yang sepeda angin pancal kesayangan beliau dimuseumkan di Museum NU Surabaya. Konon suatu ketika seorang santri Mbah Mahfudz pernah melihat Mbah Mahfudz berada di Mekkah dengan membawa sepeda tersebut.






versi yang lain Sewulan berasal dari kata sewu (seribu) dan wuwul (ukuran luas sama dengan hektar) jadi sewu wuwul adalah 1.000 ha. Dari nama tersebut dapat diartikan bahwa Desa Sewulan adalah tanah hadiah yang luasnya 1000 ha. Oleh Raja yang berkuasa pada waktu itu.





Berdasarkan cerita rakyat sewulan, pendiri Desa Sewulan adalah Bagus Harun, seorang santri dari Tegalsari Ponorogo. Pada masa pemerintah Kasunanan Paku Buwono II di Kartasura, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap kekuasaan Kompeni Belanda di bawah pimpinan Tai Wan Sui dari Semarang dan dibantu oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II. Pada tahu 1741 terjadi peperangan hebat di Kartasura. Susuhunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada Kyai Hasan Besari di Tegalsari, tetapi oleh Kyai besari hanya di kirim seorang santrinya bernama Bagus Harun. Bagus Harun dapat memenangkan pertempuran di Kartasura, kemudian Bagus Harun di beri hadiah tanah yang dipilihnya sendiri seluas 1000 wuwul / ha. Maka sejak tahun 1742 Desa Sewulan mendapatkan kemerdekaan penuh dan secara turun temurun dipimpin oleh seorang Kyai keturunan Bagus Harun atau yang terkenal dengan Kyai Ageng Basyariah.




Makam Kyai Basyariah


Makam Kyai Ageng Basyariyah berada di kompleks makam Sewulan di belakang Masjid Agung Sewulan, tepatnya di cungkup utama. Di cungkup utama tersebut, makam Kiai Ageng Basyariyah diapit oleh putrinya (Nyai Muhammad Santri) dan menantunya (Kiai Muhammad Santri). Ketiga makam tersebut di naungi kain berwanrna hijau. Tepat di depan makam Kiai Ageng Basyariyah terdapat songsong tiga tingkat berwarna hijau ( Songsong Tunggul Nogo). Songsong ini dihias dengan sepasang naga di bawahnya dan difungsikan sebagai rak sederhana untuk tempat Al Quran dan surat yasin.





Sumber : 

Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980

Narasumber : Bpk. Mamak Sewulan, Bpk. Khoirul, Bpk Ardyan

    c




Mimbar Masjid Sewulan, masih asli




Menunjukan th pemasangan tegel





Pintu gerbang makam kuno belakang Masjid Sewulan




Pintu gerbang Masjid Sewulan




silsilah di makam utama Kyai Ageng Basyariah




silsilah di makam utama Kyai Ageng Basyariah