Sunday, July 11, 2010

Sejarah Desa Perdikan Banjarsari





Gerbang Masjid Kuno Banjarsari 


Sejarah Desa Perdikan Banjarsari





Desa Banjarsari adalah bertetangga dengan desa Sewulan, Desa ini merupakan
hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II. Kata Banjarsari diduga berasal dari
“Ganjar” dan “Sri” ( hadiah sang raja)





Ketika Sultan Hamengku Buwono I naik tahta 13 Pebruari 1755, Kabupaten
Singosari, Malang  yang merupakan wilayah Mancanegara timur, membangkang
terhadap Sultan Hamengku Buwono I, sudah semestinya ini merupakan tugas dari
Wedono Bupati Mancanegara timur di Madiun yaitu Bupati Ronggo Prawiradirjo I.


Bupati Ronggo Prawiradirjo I bersama 40 prajurit pilihan dan seorang santri
dari Tegalsari bernama Muhamad Bin Umar  berangkat ke Singosari, dipinggir sungai
Porong, atas permintaan Muhamad Bin Umar, perjalanan berhenti dan menanak nasi,
nasi bukan untuk dimakan, akan tetapi merupakan sarana agar jika masuk ke
istana Bupati Singosari tidak dapat diketahui oleh prajurit jaga. Nasi liwet
tersebut diartikan “selamat lewat” dan ternyata benar Rongggo Prawirodirjo
beserta prajurit berhasil masuk ke istana tanpa diketahui prajurit musuh.
Kemudian Bupati Singosari dibawa menghadap Sultan Hamengku Buwono di
Jogjakarta.





Sri Sultan kagum saat mendengar cerita Ronggo Prawirodirjo tentang
kesaktian Muhamad Bin Umar, kemudian Sri Sultan memberi hadiah tanah sebagai
Desa Perdikan, yang sekarang disebut Desa Banjarsari pada tahun 1763 dan dikuti
pembangunan Masjid Besar Banjarsari atau berselang 20 tahun setelah pembangunan
masjid Sewulan oleh Bagus Harun (1743). Sekitar tahun 1793 Desa  perdikan
Banjarsari dipecah menjadi dua bagian yaitu Desa Banjarsari Wetan dan Desa
Banjarsari kulon.





Cerita asal mula Desa Perdikan Banjarsari dalam versi lain sebagai berikut
: Berawal dari kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi
peperangan melawan Prabu Joko , seora
ng adipati
Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung)
Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan, dan bagi sebuah kerajaan besar
seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima. Pangeran Ronggo, seorang
Bupati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui
seorang cerdik pandai dan bijak bestari, beliau adalah Kiai Ageng Muhammad
Besari di Tegalsari, Ponorogo.





Kepada Kiai Muhammad Besari,
Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan
peperangan.


Kiai Muhammad Besari
menyanggupi. Karena usia beliau sudah tua beliau memanggil santri muda
sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah
panji-panji Mataram.
Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu
bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya. Kyai Muhammad
Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan
peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan
mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi,
sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat. Kyai Muhammad Bin Umar
memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang
(Singosari). Perang diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Kyai Muhammad Bin
Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa
syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum
mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.





Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana
pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa
menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan
pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa
galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.


Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu.
Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah
kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit
Singosari yaitu prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di
hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.


Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu
Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira
dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih
wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa.
Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom
    ( perdikan ) , tanpa dibebani pajak.


Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di
dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai
Muhammad Besari.
Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa
itu Desa Banjasari.





Ketika Desa Banjarsari belum terpecah penguasanya berturut-turut, Kyai
Ageng I Muhamad Bin Umar. Kyai Ageng II. Kyai Muhamad Imron, Kyai Ageng III
Muhamad Maolani, Kyai Ageng ini adalah hanya merupakan wali, karena Tafsiranom
putra Kyai Ageng II masih berusia 3 tahun, setelah dewasa sekitar tahun 1793 atau
dalam versi lain pada + 1803-an sebagian daerahnya diberikan kepada Muhamad
Maolani atas jasa beliau.





Penguasa selanjutnya dari kedua desa tersebut adalah :


Desa
Banjarsari Wetan
: Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai sosro Ngulomo, Kyai Abdul
Hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji.


Desa
Banjarsari Kulon
: Kyai Muhamad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Jayadi II, Kyai Mukibat
dan Kyai Joyodipuro.


Kemudian mulai tahun 1963 status desa perdikan dicabut oleh pemerintah
menjadi desa biasa yang dipimpin oleh Kepala Desa, yaitu Raden Purnomo Kades
Banjarsari Wetan  dan Sumaryono Kades Banjarsari Kulon.





Kyai Raden Abdul Hamid selain sebagai pemimpin Desa perdikan Banjarsari
Kulon, beliau juga pendiri Perguruan Ilmu Sumarah ( kepercayaan Sumarah) yang memiliki
siswa ribuan jumlahnya, bahkan ada beberapa dari Australia, Amerika, Belanda,
Belgia dan Selandia Baru. Kepercayaan sumarah diturunkan di Jogjakarta tahun
1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Abdul Hamid sebagai murid pertama,
kemudian dikembangkan di daerah Madiun.





Sebagaimana desa perdikan lainnya, setiap bulan Maulud, kyai dengan
beberapa anggota pemerintahannya wajib menghadap Sri Sultan di Keraton
Jogjakarta sebagai tanda bahwa masih setia dan taat pada pemerintahan
Kesultanan Jogjakarta. Kesetiaan itu dapat dibuktikan ketika Pendopo Kabupaten
Madiun terbakar habis akibat perang Diponegoro sekitar tahun 1840, Pendopo Desa
Banjarsari dibongkar untuk mengganti pendirian kembali Pendopo Kabupaten
Madiun.





Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari
selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah
masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Di perdikan
tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu
rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero
lor” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah
Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.

Desa perdikan Banjarsari Kulon dihapus menjadi desa
biasa pada tanggal 23 Oktober 1963. Berpedoman kepada  pemberhentian R. Djojodipoera yang menjadi
Kyai Kepala Perdikan, dengan surat keputusan Bupati R Kardiono, BA No
D/55/Dsft/Pbh/63. Pada tanggal 6 Juni 1964 dilantik kepala desa pertama R
Soemaryono dipilih melalui pilihan langsung 28 April 1964.





Data Potensi Cagar Budaya Desa Banjarsari Wetan dan
Banjarsari Kulon
















































































No


No Reg. Kab Madiun


Nama Benda / Obyek


Keterangan


1.


003/CB/DGG/BNCB-ISL/2013


Masjid dan Komplek Makam


 beberapa kali direhab


2.


011/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Lumpang Batu





3.


012/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Lumpang Batu





4.


013/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Muta shorof





5.


014/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Akidah Tauhid





6.


015/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Kitab Al Quran





7.


016/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Akidah Kewalian dan Pertanyaan Jawab Sholat Kematian





8.


017/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Al Fiah Dasar-dasar Bahasa Arab





9.


018/CB/DGG/BCB-ISL/2013


Fiqih





10.









11.





Rumah Penyimpanan Pusaka “Dalem kidul”


sdh dibongkar 








Rumah
Penyimpanan Pusaka “Dalem lor”


Padepokan sumarah








Sumber : 


Buku Sejarah Madiun, 1980

Makalah “Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Cagar
Budaya”  Kabupaten Madiun


Tokoh Masyarakat / ex. Pamong Bapak Haryono

Gambar : Grup Facebook KeluargaBanjarsari Wetan & Kulon Dagangan
















No comments:

Post a Comment