Sunday, June 26, 2016

Blusukan Religi : Masjid kuno KH. Abdurrahman, Tegalrejo dan Prasasti Kedungpanji





Masjid Kuno Tegalrejo Magetan


Blusukan Religi : Masjid kuno KH. Abdurrahman, Tegalrejo





Acara   : Blusukan Religi, Bulan Ramadhan 1437 H/ 2016 M


Waktu  : Minggu, 26 Juni 2016 Pukul. 14.30 s.d. selesai


Tujuan : 1. Masjid Kuno Tegalrejo, Desa Semen Kec. Nguntoronadi


              2. Prasasti Kedungpanji, Kecamatan Lembeyan


Peserta : 11 orang anggota Hvm/ Kompasmadya (widodogb, Wija A, Suharto, Tatang S, Supri, Eko, Hayat, Andrik, Sulung S, Anggoro, Atik A, Patmo S.





Masjid kuno Tegalrejo adalah salah satu masjid peninggalan pengikut Diponegoro , didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi dengan kondisi bangunan masih asli sampai sekarang, hanya pengecatan dan pemeliharaan dilakukan berkala, hingga soko dan pintu yang sebetulnya hasil tatahan kasar tidak tampak. Yang unik adalah atap pada cungkup Makam Eyang Abdurrahman terbuat dari genting tanah liat yang berbentuk sisik ikan dengan pembuatannya yang ditetel seperti membuat kue jadah ketan / tidak diinjak-injak kaki, hal ini untuk menghormati beliau. 





Waktu itu setelah kalah perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini, Satu kesepakatan para pengkut Diponegoro adalah adanya penanda di lokasi masing-masing sebagai perwujudan semangat persatuan dan perlawanan terhadap kemungkaran. Penanda itu adalah adanya 2 pohon sawo di depan tinggal masing-masing. Pohon sawo ini adalah filosofi dari kalimat “sawwu sufufakum” yang artinya” rapatkan barisanmu”





KH Abdurrahman, nama kecilnya Bagoes Bantjalana, adalah putra Kyai Achmadija seorang penghulu di kabupaten Pacitan. Sedangkan Achmadija adalah saudara Raden Djajaniman atau disebut juga Kanjeng Djimat Bupati Pacitan yang ke 12 menjabat mulai tahun 1840. 





Bagus Bantjalana masa mudanya sebelum berangkat Nyantri, beliau sowan ke Mbah Kaliyah, di dusun Serut, (sekarang wilayah Glodok Magetan), beliau di beri bekal karuk (makanan dari nasi aking) disebar dan suwo (lidi aren) yang mempunyai perlambang bahwa beliau suatu saat diberi amanah oleh Gusti Allah untuk menyebarkan ilmu Agama, Bagus Bantjalana Nyantri di Ampel Denta Surabaya cukup lama kira-kira 7 tahun dan kembali ke Kabupaten Pacitan, kemudian beliau di kirim ke Kraton Surakarta untuk Magang menjadi Narapraja di Kasunanan. Namun Bagus Bantjalana suatu saat merasa bahwa jika beliau menjadi Narapraja di lingkungan kraton seperti ini maka ilmu agama yang didapat saat nyantri kurang bermanfaat bagi masyarakat luas hingga mohon ijin pada sinuwun untuk kembali ke pacitan, dalam perjalanannya ke timur beliau teteki / bersemedi di Mojosemi Gunung Lawu. sampai sekarang disitu ada petilasannya “pertapan Bantjalana”, versi yang berkembang di wilayah Karanganyar beliau muksa.





Saat di gunung Lawu beliau memandang ke timur terlihat sulak putih nyundul angkasa, kemudian beliau minta ijin pada Bupati Magetan yang juga masih kerabat beliau yaitu: “Raden Tumenggung Sosrowinoto” untuk membabat hutan wilayah Semen, Tegalrejo sekarang ini , oleh Bupati Magetan beliau diberi piranti 4 ekor lembu dan 2 kepel (kuda) sebagai titihan /alat tranportasi.





Kemudian Beliau membuat struktur pemerintahan tingkat Kabekelan sendiri diantaranya yang paling tinggi disebut Kyai Nadir yang memegang wilayah, kemudian Kyai Sentana yang mempunyai bidang keahlian sendiri-sendiri, juru pasucian atau naip dan juga magersari yang bertugas mengurusi pertanian. 





Pesan Eyang Abdurrahman, “barang siapa walaupun Pajang Metaraman atau pidakpedara`an jika ikut dawuhku maka akan saya akui cucuku, namun walaupun cucuku sendiri jika tidak ikut dawuhku maka tidak saya akui” inii menunjukan sikap eyang Abdurrahman yang sangat keras. 





Saat berjuang membela tanah air dalam perang kancah perang Jawa 1825-1830 beliau menjadi pengawall Pangeran Diponegoro. KH Abdurrahman wafat pada 6 April 1875 Masehi atau 29 Safar 1292 Hijriyah. Bagus Bantjalana atau KH Abdurrahman sempat jadi pengawal Pangeran Diponegoro semasa perjuangan melawan penjajah Belanda pada 1825-1830.





Pada peristiwa 1948 saat Tegalrejo dipimpin Kyai Akhmad Bakin, pendopo Kyai Tegalrejo pernah diserang gerombolan PKI Muso dengan dilempari beberapa granat mengenai kendi-kendi tempat wudhu, namun tak satupun yang meledak. Mbah Imam (kyai sepuh waktu itu sedang duduk-duduk santai dikursi sambil ngomong “siapa ya.. yang melempari batu seperti anak kecil” dan seolah olah granat itu jadi batu tidak bisa meledak ). Mulai saat itu pesantren Tegalrejo tidak pernah di ganggu gerombolan PKI Muso. 





Saat ini Masjid dan Ponpes Tegalrejo di pimpin Mbah Kyai Gunawan Hanafi keturunan ke-5 dari Kyai H.Abdurrahman pendiri Tegalrejo.





Mengenai Sumur di Depan Masjid yg ramai orang antri menimba air disitu, konon dulu saat Mbah Kyai Abdurrahman berguru di mekah, beliau membuat rajah (tulisan berkhasiat) dan diceburkan ke sumur zamzam. Begitu pulang ke Tegalrejo, beliau membuat sumber air yang di dalamnya muncul rajah yang pernah beliau ceburkan ke sumur zamzam sewaktu di Mekkah itu, sampai sekarang dipercaya bertuah dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit atau gangguan jiwa yang dialami seseorang, memang kandungan air ini pernah diteliti dokter puskesmas dan terbukti memiliki kandungan mineral yang tinggi dibanding sumber air lain di wilayah sekitar,Tanpa dimasak pun air ini sehat untuk diminum





Kyai H. Abdurrahman di kenal sebagai ulama / Mursyid Thariqat Syattariyah, dan hingga kini Tegalrejo merupakan salah satu pusat Thariqah Syattariyah, banyak santri dan jamaah Thariqat Syattariyah dari penjuru negeri yang datang ke Masjid Tegalrejo. 





Sumber : 


- Mbah Kyai Gunawan Hanafi




Prasasti Kedungpanji


Prasasti Angka Tahun Desa Kedung Panji I



Lokasi Dukuh Dinginan, Desa Kedung Panji, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan

(Di halaman depan kantor desa Kedung Panji)

Catatan: Prasasti Jawa kuno yang dipahat pada sebuah lingga semu, baris pertama ‘1302 saka’ / 1380 M dan baris kedua ‘ pragola’.



Lingga semu atau lingga patok tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan, tetapi sebagai pembatas tanah simma atau sebagai pembantu diagram pengkotakan tanah tempat mendirikan bangunan suci.

Selain prasati berwujud lingga semu, disekitar lokasi dijumpai pula lingga semu lainnya.



Sumber : Laporan Penelitian Epigrafi Di Kabupaten Madiun, Magetan Dan Ponorogo Provinsi Jawa Timur oleh Titi Surti Nastiti dan Machi Suhadi tahun 1996




Prasasti Kedungpanji


Prasasti Angka Tahun Kedung Panji II



Lokasi Makam Umum Desa Kedung Panji, ditemukan warga desa kemudian berpesan jika beliau meninggal, temuan tersebut untuk dijadikan nisan makam beliau.



Catatan: Prasasti Jawa kuno yang dipahat pada sebuah nisan berbentuk stamba, baris pertama : garilas.wragoh. Baris kedua ‘1306 saka’ / 1384 M.



Sumber : Bapak Sugeng Kades Kedungpanji

                alih aksara sementara oleh Mas Tonet Daytona



Penulisan ini kami maksud sebagai bahan informasi awal dan perlu kajian lebih lanjut untuk melengkapi kajian / penulisan sejarah di wilayah Magetan atau Madiun pada umumnya, semoga segera ditetapkan sebagai cagar budaya agar terjaga kelestariannya. amin. (HvM/Kompasmadya)






Foto Blusukan HvM/Kompasmadya :




Mampir di Situs Purworejo Takeran :arca Ganesa dan Yoni"




Arca Parwati Nguntoronadi




Prasasti Kedungpanji




Prasasti Kedungpanji




Gerbang Masjid Kuno Tegalrejo




Masjid Anom Besari Desa Semen Nguntoronadi




Halaman Masjid Tegalrejo terdapat 2 pohon sawo tua




Ndalem Utama Kyai Pesantren Tegalrejo




Suasana para santri Tegalrejo mengaji di sore hari






Kemuncak masjid tampak dari belakang




Sumur air bersih berkadar mineral tinggi masjid Tegalrejo




Mendengar petuah dan cerita dari Mbah Gunawan Hanafi




Mbah Kyai Gunawan Hanafi




Buka bersama di Masjid Tegalrejo




Atap dengan genting sisik ikan pada makam KH Abdurrahman



3 comments: