Sunday, March 10, 2019

Kisah Bom Bagio Saparno

SMP TGP jl. Bagio Saparno

Tragedi Bom yang Gagal

Skenario penghadangan terhadap patroli Belanda di Saradan sudah dirancang, tanggal 14 Juli 1949 pukul 07.00 ditetapkan waktu penghadangan. Semua anggota TGP sudah siaga dan berada di pos nya masing-masing. Ada empat pos penghadangan patroli yang disiapkan disepanjang jalan Saradan yaitu pos A, B, C dan D.
Patroli Belanda tampak beriringan berjalan dari kejauhan dari arah barat menuju ke timur, patroli dari Caruban menuju Wilangan).
Iring-iringan patroli yang jadi target incaran sudah masuk dalam killing ground TGP, tinggal menunggu saat yang tepat untuk mengeksekusi dan meledakkan trek bom yang sudah disiapkan. Sesuai skenario patroli terdepan Belanda dibiarkan melewati pos A dan B tanpa serangan pendadakan, tiba waktunya anggota di Pos C yang akan mengeksekusi jika patroli terakhir lewat.
Tapi rupanya skenario penghabisan tersebut tidak sesuai rencana. Tiga Bom di Pos C yang seharusnya meledak ternyata dua bom gagal menghantam Jeep patroli Belanda. Sesaat patroli itu terkejut karena serangan pendadakan di area penghadangan. 
Pertempuran Saradan pun pecah karena bala bantuan Belanda segera datang. Pos pos penghadangan berhasil menghancurkan kendaraan-kendaraan yang datang membantu.
Selepasnya keberhasilan mengeksekusi patroli, dua anggota TGP Bagio dan Saparno pada pukul 21.00 mendapat tugas melakukan pengecekan terhadap bom yang gagal tersebut. Tak disangka tak diduga bom yang gagal meledak itu mendadak meledak di hadapan anggota TGP lain dan "BLARRR!". Suaranya memekakkan telinga dan anggota TGP sesaat terdiam terkejut melihat tubuh kedua rekannya hancur lebur berserakan disekitar lokasi.
Anggota regu dengan sigap mengumpulkan bagian-bagian tubuh rekannya yang hancur berserakan di pohon dan semak-semak di hutan Saradan untuk dikumpulkan dan segera dikuburkan.
Inilah sepenggal kisah lokasi penghadangan di Saradan yang diabadikan dengan nama Jln. Bagio Saparno dan lokasi tersebut diabadikan dengan monumen hidup dalam bentuk sekolah yaitu SMPN 2 Saradan (SMP TGP Saradan)
Lokasi penghadangannya memanjang di jln Saradan dan ada 4 pos yg jaraknya agak berjauhan. lokasi SMP 2 Saradan dulu masih hutan,  th 1981 atas prakarsa veteran TGP di bangun sekolah untuk mengenang para pejuang TGP yg bertempur di Saradan.

Dicopas dari fb Rifki Sulaksmono

Onderneming Wacht


Onderneming Wacht

Daerah Madiun sejak zaman kolonial Belanda terkenal dengan areal perkebunan tebu yang luas dan banyaknya Pabrik Gula yang dibangun di Madiun karena gula merupakan salah satu basis industri yang menjadi andalan Belanda. Untuk melindungi aset-aset tersebut Belanda merekrut orang-orang lokal dalam suatu pasukan kawal perkebunan yang bernama Onderneming Wacht (OW). Para OW ini dipersenjatai oleh Belanda dalam melakukan patroli  rutinnya. 

Para anggota OW ini terkenal dengan tingkat pendidikan yang rendah, mental pecundang, penakut dan tidak disiplin mengingat mereka orang-orang yang hanya mencari makan saja sehingga OW kerap kali menjadi sasaran empuk dari pejuang untuk merebut senjatanya karena mudah untuk ditaklukkan.

Kisah penyergapan yang dilakukan bersama antara TGP Stootbrig dan SA/CSA di Sukosari timur PG Pagotan Madiun misalnya. Kedua pasukan ini mempunyai kesepakatan jika berhasil menghadang OW maka senjata rampasan dibagi dua. Disusunlah skenario penyergapan pada tanggal 29 April 1949.

Anggota SA/CSA stelling diujung jembatan kiri kanan rel, anggota TGP Stootbrig stelling diujung jembatan. Jam 14.00 sesuai yang sudah direncanakan, lewatlah patroli 5 anggota OW menggunakan 3 lori yang didorong para buruh pabrik gula. Ketika melewati killing ground SA/CSA disergaplah mereka dengan berondongan tembakan. Buruh pabrik yang bertugas mendorong lori panik dan melarikan diri. Lori meluncur sendiri dan menjadi sasaran tembak regu SA/CSA, satu OW didalam lori berhasil meloncat dan kabur membawa senjatanya dan empat OW lainnya berlindung di dalam lori. 

Kecepatan lori berkurang dan mendekati stelling TGP Stootbrig, akhirnya empat OW terpaksa menyerahkan diri setelah digertak untuk angkat tangan. Hasilnya empat senjata berhasil dirampas, satu OW yang selamat menjadi tawanan TGP, tiga OW yang terluka parah kemudian diserahkan ke masyarakat sekitar dan akhirnya dibunuh warga karena kesal dengan ulah OW selama ini. Dampak dari kejadian ini tentara Belanda segera mengadakan pembersihan dan membakar banyak rumah warga disekitar lokasi penyergapan.

(Sumber Referensi Pelajar Pejuang TGP 1945-195, ilustrasi lukisan oleh anggota TGP Wing Wiryawan)
Copas dari Fb. Rifki Sulaksmono

Monday, March 4, 2019

Para Bupati di Karesidenan Madiun Th. 1870-1900

Gerbang Benteng Kabupaten Purwadadi

Setelah penghapusan sistem tanam Paksa th.1870, sejumlah modal asing masuk, perkebunan meluas dan jalur Kereta api dibangun. Wilayah koloni tidak lagi sebagai produsen tapi juga sebagai pasar produk eropa, khususnya tekstil dari Twente. Dengan tumbuhnya modal dan ekspor ke wilayah koloni, maka jumlah komunitas Belanda bertambah banyak, hal ini menyebabkan semakin runtuhnya posisi feodal priyayi Jawa. Pada akhir 1860 an sistem gaji seragam diterapkan dan hak mereka atas kerja bakti dihapus dan pegawai sipil Belanda semakin profesional. Pejabat Belanda tidak lagi diangkat sembarangan , melainkan dididik melalui akademi di Delft atau universitas Leiden. 
Semangat kolonial yang baru ini akhirnya akan diformulasikan pada pergantian abad yang disebut sebagai politik etis. Politik ini berisi serangkaian perencanaan pendidikan, undang-undang pedesaan, reformasi hukum dan menyentuh posisi tradisional para priyayi. 

Jumlah kabupaten di karesidenan Madiun tidak berubah sejak 1877. Penghapusan kabupaten yang terjadi sejak era tanam paksa telah mengacaukan prinsip keturunan seperti yang dijanjikan oleh Van den Bosch dalam konstitusi 1854. Sekarang prinsip keturunan bagi para bupati dapat dikukuhkan secara lebih ketat daripada sebelumnya. Putra seorang bupati akan menjadi calon utama yang dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tersebut. 

Dua dinasti bupati dari Madiun dan Pacitan berakhir sekitar tahun 1870. Trah Prawiradirja dari Madiun digantikan oleh keluarga bupati dari kabupaten Purwadadi yang di hapuskan, sampai dua generasi dari bapak ke anaknya hingga 1885. Sejak itu, sampai th 1900, posisi bupati Madiun diisi oleh figur bupati yang paling kuat di Karesidenan Madiun. Yang sering menjadi bahasan yaitu R.M.A Brotodiningrat.

Di Pacitan, Jagakarya di asingkan dan di ganti oleh R.T. Martoadiwinoto, seorang jurutulis yang datang saat Belanda masuk pertama kali ke daerah ini. Ia menjabat sampai 1904. Jadi selama paruh akhir abad ke 19, Pacitan diperintah oleh satu keluarga bupati. 

Di Ponorogo, Bupati R.A.A. Tjokronegoro yang menjabat 1857-1883, digantikan oleh putranya, R.M.T Tjokronegoro yang menjabat hingga 1906. Tjokronegoro I, adalah putra kyai besar Hasan Besari II dari perdikan Tegalsari, beliau  sebagai seorang  putra kyai dengan ibu RA Moertosijah cucu Susuhunan Paku Buwono III, Tjokronegoro I memiliki kewaskitaan, kekuatan dan kesaktian. Ia tetap menjadi figur karismatik di Madiun setelah beliau pensiun pada 1883 untuk meneguhkan suksesi putranya. 

Kabupaten Magetan juga dipimpin sebuah dinasti yang tidak terputus. Pada 1837, R.M.A Kertonegoro yang sebelumnya menjadi Bupati Ngawi dan Purwadadi, diangkat menjadi Bupati Magetan 1852. Beliau digantikan menantunya yang juga anak bupati Ponorogo sebelum dijabat oleh Tjokronegoro. Bupati R.M.A.A. Sosrodiningrat kemudian digantikan oleh putranya, R.M.A. Kerto Adinegoro pada th. 1887-1912 dan digantikan putra lainnya. Terakhir pada 1938, menantu bupati sebelumnya menggantikan dirinya, yaitu R.T. Soerjo yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Timur I.

Suksesi Bupati Ngawi hanya terjadi sekali tahun 1837, semua bupati lainnya merupakan mutasi dari daerah lainnya, biasanya dari bekas wilayah mancanegara timur.
Pada 1885 bupati muda Ngawi "Sosrodiningrat" menjalin hubungan dengan wanita Eropa dan tidak direstui oleh pemerintah. Namun pencopotan jabatan bupati dibatalkan karena tidak memiliki pengganti, anak-anaknya masih kecil dan saudara-saudara nya dianggap tidak layak. Sosrodiningrat kemudian berjanji untuk mengakhiri hubungan tersebut. Pada tahun 1887 bupati ini tidak memenuhi janjinya dan tetap mengawininya karena saat itu sudah hamil, hingga pemerintah dengan persetujuan residen dan konsili Hindia memberhentikan Sosrodiningrat dengan alasan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga bupati dan akan merusak keharmonisan kalangan priyayi dan warga.

Sumber: Buku "Madiun dalam kemelut sejarah"
Foto : Buku sejarah Kab. Magetan tahun 1979