![]() |
Gerbang Benteng Kabupaten Purwadadi |
Setelah penghapusan sistem tanam Paksa th.1870, sejumlah modal asing masuk, perkebunan meluas dan jalur Kereta api dibangun. Wilayah koloni tidak lagi sebagai produsen tapi juga sebagai pasar produk eropa, khususnya tekstil dari Twente. Dengan tumbuhnya modal dan ekspor ke wilayah koloni, maka jumlah komunitas Belanda bertambah banyak, hal ini menyebabkan semakin runtuhnya posisi feodal priyayi Jawa. Pada akhir 1860 an sistem gaji seragam diterapkan dan hak mereka atas kerja bakti dihapus dan pegawai sipil Belanda semakin profesional. Pejabat Belanda tidak lagi diangkat sembarangan , melainkan dididik melalui akademi di Delft atau universitas Leiden.
Semangat kolonial yang baru ini akhirnya akan diformulasikan pada pergantian abad yang disebut sebagai politik etis. Politik ini berisi serangkaian perencanaan pendidikan, undang-undang pedesaan, reformasi hukum dan menyentuh posisi tradisional para priyayi.
Jumlah kabupaten di karesidenan Madiun tidak berubah sejak 1877. Penghapusan kabupaten yang terjadi sejak era tanam paksa telah mengacaukan prinsip keturunan seperti yang dijanjikan oleh Van den Bosch dalam konstitusi 1854. Sekarang prinsip keturunan bagi para bupati dapat dikukuhkan secara lebih ketat daripada sebelumnya. Putra seorang bupati akan menjadi calon utama yang dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tersebut.
Dua dinasti bupati dari Madiun dan Pacitan berakhir sekitar tahun 1870. Trah Prawiradirja dari Madiun digantikan oleh keluarga bupati dari kabupaten Purwadadi yang di hapuskan, sampai dua generasi dari bapak ke anaknya hingga 1885. Sejak itu, sampai th 1900, posisi bupati Madiun diisi oleh figur bupati yang paling kuat di Karesidenan Madiun. Yang sering menjadi bahasan yaitu R.M.A Brotodiningrat.
Di Pacitan, Jagakarya di asingkan dan di ganti oleh R.T. Martoadiwinoto, seorang jurutulis yang datang saat Belanda masuk pertama kali ke daerah ini. Ia menjabat sampai 1904. Jadi selama paruh akhir abad ke 19, Pacitan diperintah oleh satu keluarga bupati.
Di Ponorogo, Bupati R.A.A. Tjokronegoro yang menjabat 1857-1883, digantikan oleh putranya, R.M.T Tjokronegoro yang menjabat hingga 1906. Tjokronegoro I, adalah putra kyai besar Hasan Besari II dari perdikan Tegalsari, beliau sebagai seorang putra kyai dengan ibu RA Moertosijah cucu Susuhunan Paku Buwono III, Tjokronegoro I memiliki kewaskitaan, kekuatan dan kesaktian. Ia tetap menjadi figur karismatik di Madiun setelah beliau pensiun pada 1883 untuk meneguhkan suksesi putranya.
Kabupaten Magetan juga dipimpin sebuah dinasti yang tidak terputus. Pada 1837, R.M.A Kertonegoro yang sebelumnya menjadi Bupati Ngawi dan Purwadadi, diangkat menjadi Bupati Magetan 1852. Beliau digantikan menantunya yang juga anak bupati Ponorogo sebelum dijabat oleh Tjokronegoro. Bupati R.M.A.A. Sosrodiningrat kemudian digantikan oleh putranya, R.M.A. Kerto Adinegoro pada th. 1887-1912 dan digantikan putra lainnya. Terakhir pada 1938, menantu bupati sebelumnya menggantikan dirinya, yaitu R.T. Soerjo yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Timur I.
Suksesi Bupati Ngawi hanya terjadi sekali tahun 1837, semua bupati lainnya merupakan mutasi dari daerah lainnya, biasanya dari bekas wilayah mancanegara timur.
Pada 1885 bupati muda Ngawi "Sosrodiningrat" menjalin hubungan dengan wanita Eropa dan tidak direstui oleh pemerintah. Namun pencopotan jabatan bupati dibatalkan karena tidak memiliki pengganti, anak-anaknya masih kecil dan saudara-saudara nya dianggap tidak layak. Sosrodiningrat kemudian berjanji untuk mengakhiri hubungan tersebut. Pada tahun 1887 bupati ini tidak memenuhi janjinya dan tetap mengawininya karena saat itu sudah hamil, hingga pemerintah dengan persetujuan residen dan konsili Hindia memberhentikan Sosrodiningrat dengan alasan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga bupati dan akan merusak keharmonisan kalangan priyayi dan warga.
Sumber: Buku "Madiun dalam kemelut sejarah"
Foto : Buku sejarah Kab. Magetan tahun 1979
Suksesi Bupati Ngawi hanya terjadi sekali tahun 1837, semua bupati lainnya merupakan mutasi dari daerah lainnya, biasanya dari bekas wilayah mancanegara timur.
Pada 1885 bupati muda Ngawi "Sosrodiningrat" menjalin hubungan dengan wanita Eropa dan tidak direstui oleh pemerintah. Namun pencopotan jabatan bupati dibatalkan karena tidak memiliki pengganti, anak-anaknya masih kecil dan saudara-saudara nya dianggap tidak layak. Sosrodiningrat kemudian berjanji untuk mengakhiri hubungan tersebut. Pada tahun 1887 bupati ini tidak memenuhi janjinya dan tetap mengawininya karena saat itu sudah hamil, hingga pemerintah dengan persetujuan residen dan konsili Hindia memberhentikan Sosrodiningrat dengan alasan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga bupati dan akan merusak keharmonisan kalangan priyayi dan warga.
Sumber: Buku "Madiun dalam kemelut sejarah"
Foto : Buku sejarah Kab. Magetan tahun 1979
No comments:
Post a Comment