Friday, July 3, 2020

Water torren, Madioen

Tegak Perkasa

Sembilan puluh tiga tahun menara itu kokoh berdiri, bertahan dari terpaan badai dan dinginnya malam. Di pagi hari, cahaya srengenge merambati tubuhnya. Siangnya digerayangi panas yang menyengat. Namun sosoknya tetap tegak perkasa berdiri bersama zaman.

Ketika lempengan bumi bergerak, ia pun tak  bergeser dari pijaknya. Ketangguhan bangunannya teruji sehingga ia tetap berdiri utuh berdampingan dengan lingkungannya.

Menara yang berfungsi sebagai penampung air bersih untuk penduduk kota ini dirancang oleh arsitek Peter Sitsen dan Emanuel George Louzada.

Dalam laporannya ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum, pada 28 April 1928, Burgemeester (walikota) Madioen, Roeloef Adrian Schotman, menyebutkan proyek penampungan air bersih Kota Madiun dikerjakan oleh Biro Arsitek dan Bangunan Sitsen en Louzada yang berkantor di Jogya.

Biaya pembangunannya 400.000 Gulden, berupa menara air setinggi 20 meter, berlantai tiga, dengan bak penampungan berkapasitas 750 kibek air, terpasang di lantai tiga.

"Rancang bangun konstruksinya telah disetujui Dinas Kesehatan Masyarakat (Dienst voor de Volksgezondheid). Dibangun dari uang pinjaman yang dicatatkan sebagai hutang Gemeente Madioen, harus lunas dalam jangka 35 tahun dengan dengan bunga pinjaman 5 persen," tulis Schotman dalam laporannya.

Sebelum proyek menara air dikerjakan, Gemeente Madioen telah membangun sumur artesis di kawasan Aloen-aloen, Kedjoeron, Kartohardjo, Benteng, Kletak, dan Pandean, sebagaimana catatan tabel persediaan air (watervoorziening).

Pembangunan air bersih diprioritaskan untuk  orang-orang Belanda. Air bersih di masa itu merupakan barang mahal. Semahal listrik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Rakyat yang tak berkemampuan berlangganan air bersih, tetap menggunakan air sumur, ngangsu banyu dari Bengawan Madiun, atau air tadah hujan ketika musim hujan tiba.

Peter Sitsen dalam proposal pekerjaannya menyebutkan, mahalnya biaya untuk kebutuhan konstruksi. "Konstruksi harus kuat menahan beban air dalam jumlah besar setiap hari," kata Peter yang menginjakkan kakinya di Batavia tahun 1907 ketika usianya 22 tahun, setamat pendidikan arsitektur dari Royal Military Academy, Breda, menjalani militer sukarelawan (milsuk) sebagai tentara KNIL di Hindia Belanda.

Bertugas di Batavia berpangkat Letnan Satu selama lima tahun. Peter juga aktiv di dunia kesenian di Batavia sebagai pianis andal. Ia bertemu penyanyi sopran asal Belanda yang telah menetap di Batavia, Marrie Rooster, yang akhirnya jadi pendamping hidupnya.

Kontraknya sebagai militer sukarelawan berakhir tahun 1912, dan mulai bekerja sebagai ahli bangunan ketika mengabdikan diri pada Sri Sultan Hamengku Buwono VII, ditunjuk sebagai Direktur Pekerjaan Umum selama tiga tahun hingga tahun 1918 di Jogya.

Setelahnya, ia mendirikan Biro Arsitek dan Bangunan Sitsen en Louzada di Jogya, mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di sejumlah kota hingga tahun 1942.

Peter meninggalkan Indonesia pada Maret 1942 dan menetap di Australia dan wafat tahun 1945 dalam usia 59 tahun di Melbourne, meninggalkan buah karya untuk Kota Madiun yakni Menara Air Sleko.

Terima kasih untuk jasamu dalam membangun menara air, Peter...
Hutang investasi pembangunan air bersih sudah dilunasi Pemerintah Indonesia kepada Kerajaan Belanda sebesar 4,5 Miliar Gulden, sebagaimana kesepakatan Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus 1949.

God bless U, Mister...
Fb. Anto  Historiavan madioen 

No comments:

Post a Comment