Monday, September 28, 2020

Jejak Ruitenschild di Kota Madiun

Jejak Ruitenschild di Kota Madiun

"Kota" Madiun mulai dilirik bangsa Eropa usai perang Jawa tahun 1830. Pasca ditangkapnya Pangeran Diponegoro itu, sepak terjang bangsa Eropa leluasa menjelajahi Jawa, termasuk Madiun yang disetting jadi lahan pertanian dan perkebunan. 

Kedatangan bangsa Eropa, bersamaan dengan bangsa China, dan Arab di Madiun, disambut R. Ruitenschild, pensiunan militer Hindia Belanda yang tinggal di Madiun, membangun rumah di Residentlaan (sekarang Jl Pahlawan) sebagai tempat pemondokan (indekos), tahun 1881. 

Ketika itu, bangsa Eropa mulai bergiat membangun lahan perkebunan tebu, dan sukses dengan beroperasinya PG Purwodadi tahun 1832, disusul pembangunan PG Pagotan (1884), PG Soedhono (1888), PG Redjosari (1890), PG Kanigoro (1894), dan PG Redjoagung (1910).    

Rumah kos Ruitenschild jadi jujugan bangsa Eropa yang melancong ke Madiun. Ruitenschild juga beriklan di sejumlah surat kabar Belanda, hingga bisnis rumah kosnya dikenal luas dan berkembang jadi hotel di tahun 1890 dengan nama Hotel Madioen. (cikal bakal Hotel Merdeka).   

Koran-koran Belanda menyebut Hotel Madioen sebagai hotel berkelas yang menghadirkan perabot modern, kamar luas, cahaya lampunya gemerlap, dan lokasinya tak jauh dari kantor pos, kantor pemerintahan, dan stasiun. 

Hotel Madioen jadi rekomendasi tempat tinggal bagi pelancong bangsa Eropa dan Asia. Raja Siam Chulalongkorn yang melakukan ekspedisi ke Jawa tahun 1896, sempat menginap beberapa hari di Hotel Madioen bersama sejumlah pengawal kerajaan.

Ketika Ruitenschild meninggal 17 Januari 1900 di Madiun, bisnis hotelnya diteruskan istri dan anaknya. Namun, berselang empat tahun kemudian, Mevrouw Ruitenschild menyusul wafat.

Pengelolaan Hotel Madioen terseok ketika ditangani anaknya, William Ruitenschild. Hingga akhirnya dijual dan diambil kepemilikannya oleh Frans William van Bereisteijn, sekretaris Hulp en Landbouw crediet bank Madioen (kini Bank Rakyat Indonesia) di tahun 1905. 

Semula, Beresteijn tetap memasarkan hotelnya dengan nama Hotel Madioen. Namun, di tahun 1910 dia mengubah namanya jadi Hotel Beresteijn, bersaing dengan Hotel Soesman dan Hotel Le Residence di Madioen.  

Selama seperempat abad lebih, Beresteijn mengendalikan bisnis hotelnya. Dia wafat pada 23 Februari 1932 dalam usia 62 tahun di Madiun. Ahli warisnya, menjual aset hotel kepada pengusaha A. Van Dijk, hingga berubah nama jadi Grand Hotel van Dijk yang diresmikan 23 November 1932 oleh Walikota Madiun Lieuwe van Dijk. 

Interior Grand Hotel van Dijk didisain dengan cita rasa Tionghwa, sejalan dengan peran Kapiten China di Madioen yang didominasi kerabat Njoo Swie Lian, Ong Swan Nio, Njoo Hong See, yang saat itu menguasai perdagangan di Karesidenan Madiun.    

Ketika Belanda meninggalkan Indonesia tahun 1942, hotel itu dikuasai Jepang, berganti nama Hotel Yamato. Saat Jepang menyerah kepada Sekutu tahun 1945, kepemilikannya dikuasai PT Honet dan berubah nama jadi Hotel Merdeka hingga sekarang, meski di tahun-tahun berikutnya berganti kepemilikan. 

Sejarah panjang Hotel Merdeka yang semula rumah indekos Ruitenschild di tahun 1881, sangatlah istimewa untuk catatan sejarah dan kesejarahan Kota Madiun. Meski wajahnya telah berubah banyak dari wajah aselinya, namun legenda Hotel Merdeka tetap terjaga sebagai hotel senior di antara sejumlah hotel yang kini tumbuh mekar di Kota Madiun.

Love U Kota Madiun 

Your history is my story 

Copas: Anto


.

No comments:

Post a Comment