Sejarah Kota
Madiun
Membuka lagi sejarah Kota Madiun ibaratnya “Ndudah Mutiara kependem”, mengingat
sejarah panjang kota ini seolah hilang dan tertutup oleh sebuah peristiwa kelam
yang telah menjadi bagian sejarah Nasional, dimana justru masyarakat madiun yang
seharusnya menjadi pahlawan atas kegagalan gerombolan PKI/Muso menjadikan Madiun sebagai
basis pemberontakan karena tidak mendapat dukungan masyarakat Madiun. Namun sering pemahaman terhadap peristiwa tersebut kurang lengkap
hingga stigma negatif justru diarahkan pada masyarakat Madiun.
Upaya mengembalikan jati diri sejarah budaya masyarakat Madiun, sudah
seharusnya menjadi program utama pembangunan karakter masyarakat Madiun yang berbasis budaya bangsa.
Penelusuran sejarah Kota Madiun, tidak lepas dari jejak-jejak peradaban dan peninggalan purbakala yang
berupa artefak maupun yang bersumber pada catatan-catatan dan manuskrip kuno
serta tafsir-tafsir sejarah hasil riset dan kajian terkait sejarah Madiun yang
meliputi wilayah tidak hanya daerah administrasi saat ini, namun lebih luas
lagi sesuai era jaman berlakunya, berdasar hal tersebut dapat di telusuri
berdasarkan pembabakan sejarah pada masanya :
1.
Pra
sejarah
- Banyak fosil dan artefak prasejarah ditemukan di sekitar Madiun,
Pacitan, Sampung, Kedung Brubus Madiun, dan
fosil Phitecantropus Erectus di Trinil Ngawi oleh Eugene Dubois (1891)
-
Penemuan
arca-arca megalitik : arca-arca Polynesia, Arca-arca corak megalitik banyak
ditemukan di lereng gunung Lawu, batu-batu menhir, tutup kubur batu dgn
relief primitive , bak batu/tempayan batu banyak tersebar di beberapa kecamatan
wilayah Magetan dan Madiun, watu dakon / batu hitungan bertani, batu altar
(Dagangan, Geger, Saradan, Panekan)
2.
Era
Medang
Prasasti
Taji, angka th. 901M ditemukan di dsn Taji, Gelang Lor kec. Sukorejo disebut
“rakryān iŋ burawan”. Prasasti Kwambang kulwan Sendang
kamal Maospati th. 991 M
Miniatur
rumah, petirtan Simbatan tertulis angka tahun 906s/984 M srawana dan 917s/995
M.
3.
Era
Kediri /singasari.
Kerajaan
Glang-glang i bhumi Ngurawan, berada di wilayah selatan Madiun. Serat
Pararaton disebutkan balatentara Jayakatwang dari Glang-glang mengibarkan panji
berwarna merah dan putih saat menyerang Singasari. Diberitakan
dalam sebuah prasasti Kudadu yang diterbitkan oleh Raden Wijaya pada tahun 1294
M. Prasasti
Kudadu (1216 Saka) Lempeng IV verso:
“….. ring samangkana, hana ta tunggulning çatru layulayu katon wetani haniru, bang lawan putih warnnanya…..” Artinya:
“….. pada saat itu, ada bendera milik musuh berlari-lari (melambai-lambai) terlihat di timurnya Haniru, MERAH dan PUTIH warnanya”
Prasasti Mula-Malurung (1255 M) dengan jelas menyebutkan posisi nagara Glang-Glang memiliki wilayah yang berbeda dengan nagara Daha. Nagara Glang-Glang berada di wilayah yang disebut “bhūmi Wurawan” (Madiun), sedangkan nagara Daha berada di wilayah yang disebut “Bhūmi Kadiri”.
“….. ring samangkana, hana ta tunggulning çatru layulayu katon wetani haniru, bang lawan putih warnnanya…..” Artinya:
“….. pada saat itu, ada bendera milik musuh berlari-lari (melambai-lambai) terlihat di timurnya Haniru, MERAH dan PUTIH warnanya”
Prasasti Mula-Malurung (1255 M) dengan jelas menyebutkan posisi nagara Glang-Glang memiliki wilayah yang berbeda dengan nagara Daha. Nagara Glang-Glang berada di wilayah yang disebut “bhūmi Wurawan” (Madiun), sedangkan nagara Daha berada di wilayah yang disebut “Bhūmi Kadiri”.
4.
Era
Majapahit
Peninggalan
bercorak Majapahit banyak ditemukan di wilayah Madiun dan sekitar, bahkan di
kota Madiun diantaranya:
-
situs
Demangan (prasasti, arca nandi, batu-batu jambangan, batu-batu altar, fragmen
candi.
-
Situs
arca Bakorwil (Ganesha, Parwati, Mahisa suramadini, syiwa, nandi dll)
-
Situs
Punden Mandalika (berisnkripsi)
5.
Era
Demak
-
Situs
Reksogati (Makam Kyai Reksogati, umpak-umpak, lingga yoni)
- Situs
Masjid Kuncen ( Makam Ronggo Jumeno, Tempayan batu, umpak
Arca)
6.
Era
Mataram Islam
- Situs
Masjid Taman/Desa Perdikan
(Makam-makam Bupati Ronggo, era Kasultanan
Jogjakarta)
- Situs
Bangunan Tradisional : Kawasan Pendopo Bupati
- Situs
Makam-makam Kyai Penyebar Agama Islam (setelah Era Perang Jawa)
diantaranya
Makam Kyai Mubarok Kampir, Kyai Suhud Tanjungsari,
Makam Sindureja, Makam Kyai
Sari Muhammad Dll.)
- Situs Masjid Kuno (Masjid Arowiyah Ngrawa,
Masjid Kuno Baitul Karim,
Masjid Besar Alun-alun dll.)
7.
Era
Kolonial / Era Karesidenan dan Kota Pradja (bangunan-bangunan
Kolonial dan corak Tionghwa yang keberadaannya butuh perhatian)
8.
Era
Kemerdekaan (monumen-monumen perjuangan, TRIP,TGP, PETA dll)
9. Era
Orde Baru (tugu-tugu Sosialisasi Program pemerintah : Tugu Pancasila,
Tugu Panca Usaha Tani, Tugu KB dll.)
Dalam usaha menemukan identitas yang sesuai kota Madiun beberapa kali
membuat program yang di ejawantahkan dengan sebuah slogan, julukan ataupun
sesanti baik itu resmi dari pemerintah daerah melalui sebuah keputusan walikota
maupun slogan yang di viralkan oleh masyarakat peduli maupun kalangan penggiat.
Diantaranya muncul slogan Madiun Bangkit, Kota Gadis, Kota Karismatik, Kota
Pendekar dan juga julukan diantaranya Kota pecel, Kota Brem, Kota Budaya, Kota
Sepur, Kota Sastra dan Kota Industri, yang semuanya dikandung maksud untuk
mengangkat eksistensi, kepercayaan diri dan tentunya sebuah harapan kedepan
agar di jadikan pedoman pembangunan pemerintah Daerah Kota Madiun. Bahkan
dibentuk Stadsgeemente /Kota Pradja Madioen dalam lambangnya tertera sebuah
slogan “montes prosperiti tatem vident” sesanti bahasa latin yang kira-kira
menpunyai makna : Gunung-gunung menjadi saksi kemakmuran.
Madiun Di
Era Kolonial
Dengan masuknya komunitas Bangsa Eropa di Madiun melalui industri
perkebunan dan perdagangan, Pada tanggal 1
Januari 1832 secara resmi Pemerintah Hindia belanda membentuk
suatu Tata Pemerintahan Karesidenan, Ibu Kota
Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (daerah
Patoman/ tempat
Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan dalem
Kabupaten Madiun di Pangongangan. Dengan berdirinya
Karisidenan Madiun maka perkembangan Kota Madiun maju dengan pesat, diikuti
penataan kota, pembagian wilayah perdagangan dengan komunitas Tionghwa,
Komunitas timur tengah juga india. Komoditi perkebunan banyak dikuasai oleh
orang eropa,
perkebunan tebu,tembakau, kopi, teh, nira, lada. Beberapa residen Madioen :
- Residen
Madiun pertama adalah 1832 L De Launy
-Residen kedua E. Francis menjabat 1836-1840
- Mullemeister
-Donker
Curtius dipensiun th. 1890 karena tuduhan pada Bupati Magetan terlibat dalam
perdagangan Candu tidak terbukti. kasus tersebut diselidiki oleh Inspectur
Candu Ter Mechelen.
- JJ Downer 1897-1902 di ganti akibat berseteru
dengan Bupati Brotodiningrat. Dua kasus diatas dianggap sebagai bukti bahwa
penguasa pribumi masih mempunyai kewibawaan.
- Lucien
Adam
Era Tanam
paksa atau cultuur
stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Van Den
Bosch
yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk
ditanami tanaman komoditi ekspor. Tanaman yang wajib ditanam khususnya kopi,
tebu, dan indigo (bahan pewarna). Hasil panen tanaman
ini akan diserahkan dan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan.
Tahun 1870, Setelah penghapusan sistem tanam Paksa sejumlah modal asing
masuk, perkebunan meluas dan jalur Kereta api dibangun. Wilayah koloni tidak
lagi sebagai produsen tapi juga sebagai pasar produk eropa, khususnya tekstil
dari Twente. Dengan tumbuhnya modal dan ekspor ke wilayah koloni, maka jumlah
komunitas Belanda bertambah banyak, hal ini menyebabkan semakin runtuhnya posisi
feodal priyayi Jawa. Pada akhir 1860 an sistem gaji seragam diterapkan dan hak
mereka atas kerja bakti dihapus dan pegawai sipil Belanda semakin profesional.
Pejabat Belanda tidak lagi diangkat sembarangan , melainkan dididik melalui
akademi di Delft atau universitas Leiden.
Semangat kolonial yang baru ini akhirnya akan diformulasikan pada pergantian
abad yang disebut sebagai politik etis. Politik ini berisi serangkaian
perencanaan pendidikan, undang-undang pedesaan, reformasi hukum dan menyentuh
posisi tradisional para priyayi.
Di Madiun Pabrik-pabrik besar berdiri. PG. Sentul (Kanigoro), PG. Pagotan (Uteran),
PG. Rejoagung Kecuali itu muncul pula perkebunan teh di Jamus dan Dungus, Kopi
di Kandangan, Tembakau di Pilangkenceng, semua warga negara eropha bermukim di
tengah kota sekitar istana Residen Madiun, komunitas Tionghwa yang banyak menguasai perdagangan berada di selatan
alun-alun, sedangkan kampung arab berada di barat alun-alun. Segresi sosial (pemisahan sosial) dilakukan untuk
mengantisipasi konflik sosial dan agar mudah dalam
pengawasan.
Kerajaan
Belanda
mengeluarkan Undang-undang yang mengatur
daerah perkotaan yang disebut : Inlandsche Gemeente Ordonantie yang dikeluarkan
pada tahun 1906 oleh Departemen Binnenlandsch Bestuur yang dalam hal itu oleh
Menteri S. De Graaf
Maka wilayah
perkotaan Madiun dipisahkan dari Pemerintah Kabupaten Madiun menjadi
Stadsgemeente Madiun atau Kota Praja Madiun atau Haminte Madiun. Kotapraja
madiun berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20
Juni 1918 dengan landasan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 326, sehingga wilayah itu
dikepalai oleh seorang Burgemeester yang pertama dijabat oleh Ir.M.K. Ingenlijf
semula menjabat asisten residen
Hanya setelah
tahun 1927 baru mulailah diisi burgemeester, yang urutannya dapat diketengahkan
sebagai berikut :
1. Mr. K.A.
Schotman 2. Boerstra 3. Mr. Van Dijik + Loco (wakil) Burgemeester : Ali
Sastroamidjoyo 4. Dr. Mr. R.M. Soebroto 5. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo 6.
Soedibyo 7. R. Poerbo Sisworo 8. Soepardi 9. R. Mochamad 1948 dari Siliwangi 10.
R.M. Soedino 11. R. Singgih 12. R. Moentoro 13. R. Moestadjab 14. R. Roelan
Wongsokoesoemo 15. R. Soepardi 16. Soemadi 17. Joebagyo 18. Pd. Walikota R.
Roekito, BA 19. Drs. Iman Soenardji 5 Nopember 1968 - 19 Januari 1974 20.
Achmad Dawaki, BA 19 Januari 1974 - 19 Januari 1979 21. Drs. Marsoedi 20
Januari 1979 - 20 Januari 1984 22. Drs. Marsoedi 20 Januari 1984 - 20 Januari
1989 23. Drs. Masdra M. Jasin 20 Januari 1989 - 20 Januari 1994 24. Drs.
Bambang Pamoedjo 20 Januari 1994 - 20 Januari 1999 25. Drs. H. Achmad Ali
1999-2004 26. Kokok Raya 2004-2009 27.
Bambang Irianto 2009-2016 28. Sugeng Rismiyanto 2017-2019 29. Maidi 2019 s.d. sekarang
Kota
Pradja Madioen 1918-1942
Pembentukan Pemerintahan
Kota dan Dewan Kota Madiun di dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie (Lembaran
Negara Hindia Belanda) No. 326 tanggal 20 Juni 1918, yang telah ditetapkan
sebagai hari jadi Kota Madiun sejak tahun 2003. Berdasar pada data dari masa
awal pendudukan Jepang di Madiun dapat diketahui bahwa masa hari jadi
Pemerintahan Kota Madiun, terdiri dari 12 Desa. Burgemeester (Walikota) Kepala
Pemerintahan Kota Madiun pada masa itu dijabat oleh asisten resident dalam
jabatan rangkap berarti disamping menjabat sebagai residen merangkap Walikota.
Dewan Perwakilan
Daerah Kotapraja Madiun berjumlah 13 orang, dengan susunan : 8 (delapan) orang
Eropha atau orang lain diluar Eropha yang disamakan kedudukannya, 4 (empat)
orang pribumi, 1 (satu) orang timur asing
Madiun
Shi
Pada Zaman
Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh seorang Shi Tjo dan
mempunyai wilayah 12 Desa. Pada Bulan Maret 1942 Kota Madiun diduduki oleh
pasukan Jepang dalam kerangka Perang Dunia II (Pemerintah pendudukan Jepang
menyebut perang Asia Timur Raya), terdiri dari 12 Desa yakni : 1.Desa Sukosari 2.Desa
Patihan 3.Desa Oro Oro Ombo 4.Desa Kartoharjo
5.Desa
Pangongangan 6.Desa Madiun Lor 7.Desa Kejuron 8.Desa Klegen 9.Desa Nambangan
Lor
10. Desa
Nambangan Kidul 11.Desa Taman 12.Desa Pandean.
Kota
Besar
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948,
maka Madiun Shi diubah menjadi Kota
Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota.
Surat Keputusan
Nomor 16 Tahun 1950 Kota besar Madiun diperjuangkan diperluas dengan mendapat
tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan, Josenan, Kuncen
yang semula berstatus seperti Desa Perdikan Taman, Banjarejo, Mojorejo,
Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo.
Kotapraja
Kemudian dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan
wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun,
kerena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten
Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan
perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960
bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati.
Kota
Madya
Kemudian dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun
1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kotamadya Madiun dengan wilayah 20 desa
dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah.
Kota
Madya Dati II
Selanjutnya
dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun 1965, maka Kotamadya
Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20
desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun diubah menjadi
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979 atas
persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, diusulkan
pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai
tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Madiun yang semula
terdiri dari 1 Kecamatan meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983
bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun
yakni : 1. Ngegong, 2. Sogaten, 3. Tawangrejo, 4. Kelun, 5. Pilangbango, 6. Kanigoro
dan 7. Manisrejo, sehingga luas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun
menjadi 33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa
dimana masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.
Pemerintah
Kota (1998)
Ke tujuh desa hasil pemekaran tahun 1983 berubah
menjadi kelurahan.
No comments:
Post a Comment