Sunday, June 23, 2019

Sekilas Kota Madiun dari Masa ke Masa


Sejarah Kota Madiun

Membuka lagi sejarah Kota Madiun ibaratnya “Ndudah Mutiara kependem”, mengingat sejarah panjang kota ini seolah hilang dan tertutup oleh sebuah peristiwa kelam yang telah menjadi bagian sejarah Nasional, dimana justru masyarakat madiun yang seharusnya menjadi pahlawan atas kegagalan gerombolan PKI/Muso menjadikan Madiun sebagai basis pemberontakan karena tidak mendapat dukungan masyarakat Madiun. Namun sering  pemahaman terhadap peristiwa tersebut kurang lengkap hingga stigma negatif justru diarahkan pada masyarakat Madiun.
Upaya mengembalikan jati diri sejarah budaya masyarakat Madiun, sudah seharusnya menjadi program utama pembangunan karakter masyarakat Madiun yang  berbasis budaya bangsa.

Penelusuran sejarah Kota Madiun, tidak lepas dari jejak-jejak peradaban dan  peninggalan purbakala yang berupa artefak maupun yang bersumber pada catatan-catatan dan manuskrip kuno serta tafsir-tafsir sejarah hasil riset dan kajian terkait sejarah Madiun yang meliputi wilayah tidak hanya  daerah administrasi saat ini, namun lebih luas lagi sesuai era jaman berlakunya, berdasar hal tersebut dapat di telusuri berdasarkan pembabakan sejarah pada masanya :
1.     Pra sejarah
-    Banyak fosil dan artefak  prasejarah ditemukan di sekitar Madiun, Pacitan, Sampung, Kedung Brubus Madiun, dan  fosil Phitecantropus Erectus di Trinil Ngawi oleh Eugene Dubois (1891)
-    Penemuan arca-arca megalitik : arca-arca Polynesia, Arca-arca corak megalitik banyak ditemukan di lereng gunung Lawu, batu-batu menhir,  tutup kubur batu dgn relief primitive , bak batu/tempayan batu banyak tersebar di beberapa kecamatan wilayah Magetan dan Madiun, watu dakon / batu hitungan bertani, batu altar (Dagangan, Geger, Saradan, Panekan) 
2.     Era Medang
Prasasti Taji, angka th. 901M ditemukan di dsn Taji, Gelang Lor kec. Sukorejo disebut “rakryān iŋ burawan”.  Prasasti Kwambang kulwan Sendang kamal Maospati th. 991 M 
Miniatur rumah, petirtan Simbatan tertulis angka tahun 906s/984 M srawana dan 917s/995 M.
3.     Era Kediri /singasari.
Kerajaan Glang-glang i bhumi Ngurawan, berada di wilayah selatan Madiun. Serat Pararaton disebutkan balatentara Jayakatwang dari Glang-glang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singasari. Diberitakan dalam sebuah prasasti Kudadu yang diterbitkan oleh Raden Wijaya pada tahun 1294 M. Prasasti Kudadu (1216 Saka) Lempeng IV verso:
“….. ring samangkana, hana ta tunggulning çatru layulayu katon wetani haniru, bang lawan putih warnnanya…..” Artinya:
“….. pada saat itu, ada bendera milik musuh berlari-lari (melambai-lambai) terlihat di timurnya Haniru, MERAH dan PUTIH warnanya”

Prasasti Mula-Malurung (1255 M) dengan jelas menyebutkan posisi nagara Glang-Glang memiliki wilayah yang berbeda dengan nagara Daha. Nagara Glang-Glang berada di wilayah yang disebut “bhūmi Wurawan” (Madiun), sedangkan nagara Daha berada di wilayah yang disebut “Bhūmi Kadiri”.
4.     Era Majapahit
Peninggalan bercorak Majapahit banyak ditemukan di wilayah Madiun dan sekitar, bahkan di kota Madiun diantaranya:
-      situs Demangan (prasasti, arca nandi, batu-batu jambangan, batu-batu altar, fragmen candi. 
-      Situs arca Bakorwil (Ganesha, Parwati, Mahisa suramadini, syiwa, nandi dll)
-      Situs Punden Mandalika (berisnkripsi)
5.     Era Demak
-      Situs Reksogati (Makam Kyai Reksogati, umpak-umpak, lingga yoni)
-     Situs Masjid Kuncen ( Makam Ronggo Jumeno, Tempayan batu, umpak Arca)
6.     Era Mataram Islam
-  Situs Masjid Taman/Desa Perdikan 
  (Makam-makam Bupati Ronggo, era Kasultanan Jogjakarta)
-  Situs Bangunan Tradisional : Kawasan Pendopo Bupati
- Situs Makam-makam Kyai Penyebar Agama Islam (setelah Era Perang Jawa) 
  diantaranya Makam Kyai Mubarok Kampir, Kyai Suhud Tanjungsari, 
  Makam Sindureja, Makam Kyai Sari Muhammad Dll.)
-  Situs Masjid Kuno (Masjid Arowiyah Ngrawa, Masjid Kuno Baitul Karim, 
   Masjid Besar Alun-alun dll.)
7.     Era Kolonial / Era Karesidenan dan Kota Pradja (bangunan-bangunan Kolonial dan corak Tionghwa yang keberadaannya butuh perhatian)
8.     Era Kemerdekaan (monumen-monumen perjuangan, TRIP,TGP, PETA dll)
9.   Era Orde Baru (tugu-tugu Sosialisasi Program pemerintah : Tugu Pancasila, Tugu Panca Usaha Tani, Tugu KB dll.)

Dalam usaha menemukan identitas yang sesuai kota Madiun beberapa kali membuat program yang di ejawantahkan dengan sebuah slogan, julukan ataupun sesanti baik itu resmi dari pemerintah daerah melalui sebuah keputusan walikota maupun slogan yang di viralkan oleh masyarakat peduli maupun kalangan penggiat. Diantaranya muncul slogan Madiun Bangkit, Kota Gadis, Kota Karismatik, Kota Pendekar dan juga julukan diantaranya Kota pecel, Kota Brem, Kota Budaya, Kota Sepur, Kota Sastra dan Kota Industri, yang semuanya dikandung maksud untuk mengangkat eksistensi, kepercayaan diri dan tentunya sebuah harapan kedepan agar di jadikan pedoman pembangunan pemerintah Daerah Kota Madiun. Bahkan dibentuk Stadsgeemente /Kota Pradja Madioen dalam lambangnya tertera sebuah slogan “montes prosperiti tatem vident” sesanti bahasa latin yang kira-kira menpunyai makna : Gunung-gunung menjadi saksi kemakmuran.  

Madiun Di Era Kolonial
Dengan masuknya komunitas Bangsa Eropa di Madiun melalui industri perkebunan dan perdagangan,  Pada tanggal 1 Januari 1832 secara resmi Pemerintah Hindia belanda membentuk suatu Tata Pemerintahan Karesidenan, Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (daerah Patoman/ tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan dalem Kabupaten Madiun di Pangongangan. Dengan berdirinya Karisidenan Madiun maka perkembangan Kota Madiun maju dengan pesat, diikuti penataan kota, pembagian wilayah perdagangan dengan komunitas Tionghwa, Komunitas timur tengah juga india. Komoditi perkebunan banyak dikuasai oleh orang eropa, perkebunan tebu,tembakau, kopi, teh, nira, lada. Beberapa residen Madioen :
- Residen Madiun pertama adalah 1832 L De Launy
-Residen kedua E. Francis menjabat 1836-1840
- Mullemeister
-Donker Curtius dipensiun th. 1890 karena tuduhan pada Bupati Magetan terlibat dalam perdagangan Candu tidak terbukti. kasus tersebut diselidiki oleh Inspectur Candu Ter Mechelen.
- JJ Downer 1897-1902 di ganti akibat berseteru dengan Bupati Brotodiningrat. Dua kasus diatas dianggap sebagai bukti bahwa penguasa pribumi masih mempunyai kewibawaan.
-   Lucien Adam

Era Tanam paksa  atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur  Van Den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami tanaman komoditi ekspor. Tanaman yang wajib ditanam khususnya kopi, tebu, dan  indigo (bahan pewarna). Hasil panen tanaman ini akan diserahkan dan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan.
Tahun 1870, Setelah penghapusan sistem tanam Paksa sejumlah modal asing masuk, perkebunan meluas dan jalur Kereta api dibangun. Wilayah koloni tidak lagi sebagai produsen tapi juga sebagai pasar produk eropa, khususnya tekstil dari Twente. Dengan tumbuhnya modal dan ekspor ke wilayah koloni, maka jumlah komunitas Belanda bertambah banyak, hal ini menyebabkan semakin runtuhnya posisi feodal priyayi Jawa. Pada akhir 1860 an sistem gaji seragam diterapkan dan hak mereka atas kerja bakti dihapus dan pegawai sipil Belanda semakin profesional. Pejabat Belanda tidak lagi diangkat sembarangan , melainkan dididik melalui akademi di Delft atau universitas Leiden. 
Semangat kolonial yang baru ini akhirnya akan diformulasikan pada pergantian abad yang disebut sebagai politik etis. Politik ini berisi serangkaian perencanaan pendidikan, undang-undang pedesaan, reformasi hukum dan menyentuh posisi tradisional para priyayi.

Di Madiun Pabrik-pabrik besar berdiri.  PG. Sentul (Kanigoro), PG. Pagotan (Uteran), PG. Rejoagung Kecuali itu muncul pula perkebunan teh di Jamus dan Dungus, Kopi di Kandangan, Tembakau di Pilangkenceng, semua warga negara eropha bermukim di tengah kota sekitar istana Residen Madiun, komunitas Tionghwa yang banyak menguasai perdagangan berada di selatan alun-alun, sedangkan kampung arab berada di barat alun-alun.  Segresi sosial (pemisahan sosial) dilakukan untuk mengantisipasi konflik sosial dan agar mudah dalam pengawasan.
Kerajaan Belanda  mengeluarkan Undang-undang yang mengatur daerah perkotaan yang disebut : Inlandsche Gemeente Ordonantie yang dikeluarkan pada tahun 1906 oleh Departemen Binnenlandsch Bestuur yang dalam hal itu oleh Menteri S. De Graaf
Maka wilayah perkotaan Madiun dipisahkan dari Pemerintah Kabupaten Madiun menjadi Stadsgemeente Madiun atau Kota Praja Madiun atau Haminte Madiun. Kotapraja madiun berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918 dengan landasan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 326, sehingga wilayah itu dikepalai oleh seorang Burgemeester yang pertama dijabat oleh Ir.M.K. Ingenlijf semula menjabat asisten residen
Hanya setelah tahun 1927 baru mulailah diisi burgemeester, yang urutannya dapat diketengahkan sebagai berikut :
1. Mr. K.A. Schotman 2. Boerstra 3. Mr. Van Dijik + Loco (wakil) Burgemeester : Ali Sastroamidjoyo 4. Dr. Mr. R.M. Soebroto 5. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo 6. Soedibyo 7. R. Poerbo Sisworo 8. Soepardi 9. R. Mochamad 1948 dari Siliwangi 10. R.M. Soedino 11. R. Singgih 12. R. Moentoro 13. R. Moestadjab 14. R. Roelan Wongsokoesoemo 15. R. Soepardi 16. Soemadi 17. Joebagyo 18. Pd. Walikota R. Roekito, BA 19. Drs. Iman Soenardji 5 Nopember 1968 - 19 Januari 1974 20. Achmad Dawaki, BA 19 Januari 1974 - 19 Januari 1979 21. Drs. Marsoedi 20 Januari 1979 - 20 Januari 1984 22. Drs. Marsoedi 20 Januari 1984 - 20 Januari 1989 23. Drs. Masdra M. Jasin 20 Januari 1989 - 20 Januari 1994 24. Drs. Bambang Pamoedjo 20 Januari 1994 - 20 Januari 1999 25. Drs. H. Achmad Ali 1999-2004 26. Kokok Raya 2004-2009   27. Bambang Irianto 2009-2016 28. Sugeng Rismiyanto 2017-2019  29. Maidi 2019 s.d. sekarang

Kota Pradja Madioen 1918-1942
Pembentukan Pemerintahan Kota dan Dewan Kota Madiun di dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) No. 326 tanggal 20 Juni 1918, yang telah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Madiun sejak tahun 2003. Berdasar pada data dari masa awal pendudukan Jepang di Madiun dapat diketahui bahwa masa hari jadi Pemerintahan Kota Madiun, terdiri dari 12 Desa. Burgemeester (Walikota) Kepala Pemerintahan Kota Madiun pada masa itu dijabat oleh asisten resident dalam jabatan rangkap berarti disamping menjabat sebagai residen merangkap Walikota.
Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun berjumlah 13 orang, dengan susunan : 8 (delapan) orang Eropha atau orang lain diluar Eropha yang disamakan kedudukannya, 4 (empat) orang pribumi, 1 (satu) orang timur asing

Madiun Shi
Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa. Pada Bulan Maret 1942 Kota Madiun diduduki oleh pasukan Jepang dalam kerangka Perang Dunia II (Pemerintah pendudukan Jepang menyebut perang Asia Timur Raya), terdiri dari 12 Desa yakni : 1.Desa Sukosari 2.Desa Patihan 3.Desa Oro Oro Ombo 4.Desa Kartoharjo
5.Desa Pangongangan 6.Desa Madiun Lor 7.Desa Kejuron 8.Desa Klegen 9.Desa Nambangan Lor
10. Desa Nambangan Kidul 11.Desa Taman 12.Desa Pandean.

Kota Besar
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun Shi diubah menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota.
Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kota besar Madiun diperjuangkan diperluas dengan mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan, Josenan, Kuncen yang semula berstatus seperti Desa Perdikan Taman, Banjarejo, Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo.

Kotapraja
Kemudian dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-undang Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun, kerena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960 bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati.

Kota Madya
Kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kotamadya Madiun dengan wilayah 20 desa dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah.

Kota Madya Dati II
Selanjutnya dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun 1965, maka Kotamadya Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, diusulkan pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Madiun yang semula terdiri dari 1 Kecamatan meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983 bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni : 1. Ngegong, 2. Sogaten, 3. Tawangrejo, 4. Kelun, 5. Pilangbango, 6. Kanigoro dan 7. Manisrejo, sehingga luas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.

Pemerintah Kota (1998)
Ke tujuh desa hasil pemekaran tahun 1983 berubah menjadi kelurahan. 

No comments:

Post a Comment