Monday, January 21, 2019

Awal Kolonialisme di wilayah Karesidenan Madiun

Secara resmi Belanda menguasai wilayah Madiun tahun 1830, namun pasukan-pasukan belanda telah beberapa kali memasuki wilayah ini, diantaranya saat pengejaran Pemberontakan Trunojoyo ke wilayah Kediri pasukan VOC dipimpin Kapten Tack pada tahun 1678, kemudian saat perlawanan Bupati Ronggo Prawirodirjo III tahun 1810, Letnan Paulus dan sersan Laberfield beserta 12 prajurit Kavaleri ikut menyertai prajurit Jogjakarta.

Ketika Inggris menggantikan kekuasaan Belanda (1811-1816) mereka mencoba menyewa daerah Kedu dan pacitan untuk keperluan pertahanan dan perdagangan, tanpa banyak halangan para pangeran melepaskan pada pihak Inggris. Setelah 1816 akibat perjanjian Wina, Belanda menguasai Jawa kembali termasuk Pacitan  wilayah yang sebelumnya disewa oleh Inggris. Maka Pacitan bisa dikatakan sebagai wilayah pertama di Karesidenan Madiun yang mencicipi Kolonialisme.

Mengapa Pacitan? Dalam kisah babad Pacitan. Bupati pertama Pacitan Kyai Natapraja (1755-1792) ditunjuk oleh Sultan Hamengkubuwono I, bergelar Mas Tumenggung Setrawijaya, namun oleh para ahli nujum dinasti ini diramal tidak akan bertahan lama.
Jayaniman yang sudah ngrasuk agama Islam, seorang keturunan kyai Buwana keling guru sakti dan menguasai wilayah pacitan yang masih menganut Budo, saat Kyai Buwana Keling sekarat terbunuh oleh musuh (penyebar agama Islam)  sempat bersabda bahwa keturunanya kelak akan menjadi penguasa di sini.

Pada suatu saat karena takut ramalan tersebut, Setrawijaya memanggil Jayaniman untuk dijadikan modin dan guru Agama di desa Tanjung sebagai upaya merangkul rival politik sang Bupati.

Pada tahun 1811 Inggris mendarat di Jawa, beberapa mereka ditemani Pangeran Mangkunegara berkunjung ke Pacitan. Setrawijaya panik, karena mengira mereka datang bersama tentara VOC untuk menaklukan Pacitan. Ia kemudian bersama pengikutnya meninggalkan ndalem kabupaten. Saat itu Modin Jayaniman muncul menyambut orang Inggris dan memberi keterangan dengan sopan dan baik. Ketika Inggris pergi, mengangkat Jayaniman sebagai ngabehi (wedana) Arjowinangun dengan julukan Pancagama (lima agama / mengacu pada pandangan Jayaniman).

Setrawijaya meninggal usia tua dan digantikan putranya yang lahir dari seorang putri Sultan Jogja dengan gelar Setrawijaya II. Tahun 1816 Belanda berkuasa kembali. Belanda bertanya pada Setrawijaya II di depan paseban para Wedana dan lurah. "Raden Tumenggung, berapa pohon kopi yang bisa dirawat oleh satu orang?" "Sekitar dua puluh lima" jawab Setrawijaya, dan semua yang hadir mengangguk.
Kemudian Belanda bertanya pada Pancagama "Benarkah kamu mampu menggerakan rakyat supaya masing-masing mau menanam seratus pohon?" Pancagama menjawab bahwa bahkan menanam lebih dari seratus pohon dimungkinkan tanpa menyebabkan kerusakan rakyat kecil. "Jika demikian, kamulah seharusnya menjadi bupati." Lalu lanjut dalam Babad, Belanda bertanya apakah Pancagama mampu mempertahankan diri dari kemungkinan perlawanan Bupati Setrawijaya II. Pancagama, memastikan ia tak kan mundur sejengkalpun.

Tak lama setelah peristiwa itu Belanda menunjuk Pancagama sebagai pengganti Setrawijaya II dengan gelar Mas Tumenggung Jagakarya (pengawas produksi / mengacu pada perkebunan kopi) Jagakarya bisa dikatakan sebagai orang Pacitan asli sebagai trah Kyai Buwana Keling yang bisa mewakili sosok seorang jago yang sakti dan berbudi luhur. Jagakarya memiliki 10 anak, Mas Karyadipura kemudian menggantikannya sebagai Bupati Pacitan dengan gelar Jagakarya II.

Kekacauan Perang Jawa 1825-1830  juga melanda Pacitan, Jagakarya I di asingkan di Besuki hingga di suruh tinggal di Kraton Surakarta dan mendapat gelar kyai Jimat oleh Susuhunan Surakarta. Tuan Plissingen datang menetap di Pacitan dan memerintahkan penanaman kopi dan lada.

Pada akhirnya perang jawa 1825-1830 berakibat semakin memudarnya kekuasaan raja Jawa bahkan runtuh di wilayah mancanegara. Raja sudah tidak peduli, bupati dan rakyat mancanegara melihat bahwa menjalin hubungan kembali dengan para pangeran berarti mereka akan memikul beban berat. Belanda lslu memutuskan untuk mengambil alih tanah mancanegara, hal ini menjadi sebuah nasib wilayah madiun. Pada saat itu gubernur jendralnya Van Den Bosch, mengusulkan untuk menaikan pangkat para bupati mancanegara dan mengatur pemerintahan di wilayah ini seperti di Priangan, karena para bupati di Priangan adalah sekutu terbaik Belanda.

Setelah mancanegara di ambil alih Belanda pada tahun 1830 , mereka harus segers mengatur administrasi karena di mulainya tanam paksa. Pada 1832 L De Launy di angkat sebagai Residen pertama di Madiun juga asisten Residen untuk Ngawi, Ponorogo dan Pacitan sedangkan Magetan menyusul tahun 1866.

Residen kedua E. Francis menjabat 1836-1840 bahwa jumlah bangsawan Jawa terlalu banyak hingga membebani penduduk. Pada awal pemerintahan Belanda, dua kabupaten dari total 32 dihapuskan, pada 40 sampai 50 tahun kemudian , Belanda terus mengurangi jumlah kabupaten hingga tahun 1877 jumlah kabupaten tinggal 5 (Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan)

Prinsip jabatan  turun temurun yang di janjikan Belanda pada elite lokal diberlakukan secara terbatas. Penghapusan beberapa kabupaten menimbulkan reaksi di kalangan priyayi. Beberapa keributan terjadi ketika kabupaten Arjowinangun dihapus tahun 1849 dengan alasan bupati pengganti tidak mempunyai kenampuan dan wilayah kabupaten ini terlalu kecil dan tidak penting. Namun para bupati sekitarnya menemukan bahwa penghapusan kabupaten ini berdasar perjanjian rahasia pada th 1839 ysng berbunyi bahwa kabupaten Purwodadi, Jogorogo, Sumoroto, Arjowinangun akan dihapuskan pada waktunya. Keluarga bupati yang kabupatennya di hapus semua diberi pensiun yang cukup mendapat prioritas dalam posisi di pemerintahan dan pendidikan. Namun tidak semua priyayi mendapatkan posisi yang baik di pemerintahan. Pada 1860 , kegelisahan para priyayi ini sempat terdengar oleh pemerintah pusst di negeri Belanda ketika kabupaten Jogorogo di hapuskan pada waktu itu. Kementrian koloni lantas melarang menghapuskan sebuah kabupaten tanpa persetujuan mereka.

Dirangkum dari buku: Madiun dalam kemelut sejarah.

No comments:

Post a Comment