MENGUNJUNGI BEKAS DAERAH PERTAHANAN GERILYA PASUKAN MOBRIG POLRI DAN MONUMEN PAHLAWAN DI DUKUH KEMPO, KARE, KAB.MADIUN, PEGUNUNGAN WILIS.
Tujuan tulisan ini untuk:
- Mengenang dan menghormati para pejuang khususnya pasukan Mobrig yang gugur dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
- Mengungkap sejarah yang terlupakan dimana peran Pasukan Mobrig (MBB Jawa timur) telah berjuang bergerilya di Pegunungan Wilis untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Tim :
- Brahmantia Gentur Pamuji (Pengolah sumber Sejarah)
- Mila Nurdiana (Foto Kamera)
- Nayla Yasmin (Foto-foto lainnya)
Perjalanan kami berdua ini mungkin tidak berarti dibanding dengan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa yang telah berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Pegunungan Wilis. Pagi itu kami berada di Monumen Kresek dalam rangka mendampingi putri kami dalam kegiatan Latihan Alam bersama teman-teman Sekolahnya. Dalam hati saya berfikir bahwa sejarah didaerah ini tidak hanya di Kresek saja, akhirnya kami berdua bertolak menuju daerah Kandangan, Kare, tepatnya di Monumen Pahlawan Perjuangan Mobrig, orang-orang dan anak-anak disekitar situ yang kami mintai keterangan menyebutnya sebagai “Monumen Pahlawan”. Dari Kandangan menuju Dukuh Kempo melewati jalan yang berliku, dengan jalan yang sempit menyusuri tebing dan jurang yang dalam. Sebelum mencapai Monumen Pahlawan tersebut kami ijin melewati dua portal penjagaan TNI yang menjaga lokasi bekas Perkebunan Kopi Kandangan. Alhamdulillah akhirnya kami berdua sampai di lokasi. Letak Monumen Pahlawan Perjuangan Mobrig ini sangat sepi, dan mungkin jarang dilewati orang-orang, Monumen ini dulunya sebagai tempat pemakaman dua pahlawan anggota Mobile Brigade (Mobrig) Polri yang gugur mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah Belanda tepat pada saat berjalannya Agresi Militer Belanda II.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II hingga berhasil menguasai Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta, selanjutnya mereka mendaratkan pasukannya melalui pantai Glondong, Tuban, Jawa Timur. Sebelum memasuki Madiun mereka dengan sebuah pesawat Catalina telah menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi agar Indonesia menyerah kepada Belanda karena Soekarno telah ditahan Belanda.
Agen Polisi (AP) I Moekari yang mengetahui hal tersebut seketika mengumpulkan pamflet-pamflet yang tersebar itu dan lalu dibakar disekitar Stasiun Kereta Api Madiun, lalu Moekari langsung melapor kepada Komandan Polisi Marlan yang masih bertahan di pos pertahanan Pabrik Gula Rejo Agung didalam kota Madiun dan tidak ikut bersama pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur yang sudah diluar kota, kesaksian Moekari diperkuat oleh seorang perwira angkatan darat.
Setelah benar-benar pasukan Belanda memasuki kota Madiun mereka melakukan pembersihan di dalam kota, tatkala Komandan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur Moehammad Jasin beranjak pergi dari Hotel Merdeka, beliau hampir saja tertembak oleh peluru-peluru pasukan Belanda yang sedang melintas mengendarai Jeep, beruntung peluru-peluru itu berjatuhan hanya mengenai mobil Buick yang ditumpanginya yang dikemudikan Abu sang pemilik mobil Buick, namun keduanya melompat dari dalam Mobil, selanjutnya berjalan menyusuri rel dan berjalan ketimur keluar kota Madiun menuju markas pasukan yang berada di pegunungan Wilis, dalam memoar beliau disebutkan terdapat satu regu pasukan Mobile Brigade yang sedang berbaris gugur semua oleh serentetan tembakan dari Jeep pasukan Belanda, pesawat-pesawat Belanda bahkan juga menjatuhkan bom-bom ke kota Madiun, serangan balasan dari para pejuangpun juga dilancarkan, tentara, polisi, maupun para anggota Trip.
Selama agresi militer Belanda II, markas gerilya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari pasukan musuh. Dan pada tanggal 01 Maret 1949 sekitar pagi pukul 05.00 telah datang Pasukan Belanda di Desa Kandangan, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Belanda akhirnya mengetahui posisi pos pertahanan para gerilyawan yang mayoritas dipertahankan oleh para anggota polisi dari Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur.
Pasukan Belanda datang dari dua jurusan yaitu dari arah Dukuh Giringan, Desa Kepel dengan menyusuri sungai Catur, sedangkan satunya dari arah jalan utama jalur Madiun-Kare lengkap dengan mitraliur, mobil lapis baja dan senjata Pansernya. Sehingga Desa Kandangan, Kare di kepung Pasukan Belanda dari segala jurusan.
Kedatangan Pasukan Belanda dari arah Dukuh Giringan, Desa Kepel diketahui oleh seorang kurir kemudian dilaporkan kepada Mayor Polisi Wirato, selekasnya Mayor Wirato memberi Komando Pasukan Mobile Brigade beserta masyarakat Desa Kandangan melakukan perlawanan menghadapi Pasukan Belanda dengan gagah berani tanpa gentar sedikitpun, namun karena posisi yang terjepit semua pasukan mundur masuk kedalam hutan pegunungan Wilis.
Dalam pengejaran Belanda menyerang sepanjang jalur pos-pos pertahanan para Gerilyawan hingga mencapai Dukuh Kempo,dan pada saat hampir mencapai markas pertahanan, para pasukan Gerilyawan melakukan perlawanan dengan gigih dan pada saat pertempuran telah gugur Agen Polisi (AP) I Sakip, beliau tertembak di perkebun kopi Batu, sedangkan Komandan Muda Sanali tertembak di kaki yang membuatnya tidak bisa berjalan cepat, lalu beliau akhirnya bersembunyi disalah satu rumah penduduk dan oleh mbok Setro, beliau yang sedang sakit berbaring di tempat tidur yang terbuat dari Bambu, sedangkan sebagian Pasukan Mobile Brigade (MBB) Jawa Timur menyisir ke kawasan pegunungan Wilis menuju pos-pos pertahanan berikutnya agar pasukan Belanda tidak sampai ke Jeladri-markas rahasia yang berada di daerah tertinggi puncak Kandangan.
Beberapa pasukan Belanda yang sudah hampir putus asa mengejar para Gerilyawan akhirnya mengetahui posisi dimana Komandan Muda Sanali bersembunyi, lalu menginterogasi Mbok Setro dengan perlakuan yang sangat kasar. Hal itu membuat Komandan Muda Sanali sangat marah dan lalu keluar rumah, Komandan Sanali pun berkata kepada pasukan Belanda itu, "Ya, Akulah Polisi Indoesia, tembaklah!"
Tak lama kemudian, peluru-peluru panas para serdadu Belanda menghunjam tubuh Sanali yang sudah terkulai tak berdaya di tengah sakit. Akhirnya, tembakan-tembakan merubuhkan komandan muda tersebut. Sang komandan Muda Sanali gugur sebagai pejuang Tanah Air.
Setelah Pasukan Belanda meninggalkan lokasi, dua anggota Mobile Brigade Urip dan Rahmad beserta masyarakat Kempo Kandangan mengusung kedua jenazah untuk di kebumikan di Perkebunan Kopi.
Meskipun Belanda berkali-kali melakukan pembersihan mencari keberadaan pasukan Gerilyawan Madiun, namun akhirnya tidak berhasil juga, hal demikian berkat bantuan masyarakat terhadap Pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur. Selama agresi militer Belanda II, markas gerilya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari pasukan musuh.
Selepas Peristiwa Madiun di th.1948, daerah Kandangan Kare tersebut memang sebagai markas gerilyawan pasukan Mobile Brigade Karesidenan (MBK) Madiun dan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur dibawah Komando Moehammad Jasin selaku Komandan Militer Sektor Timur Madiun dan termasuk Ponorogo, atas kepercayaan Kolonel Soekowati selaku Komandan Militer Madiun. Hal demikian dipilihnya tempat di daerah pegunungan Wilis timur Madiun, sekaligus untuk mencari sisa-sisa pasukan komunis bekas anak buah Muso FDR/PKI. Di pegunungan wilis tersebut Moehammad Jasin membentuk pos-pos atau kantong-kantong pertahanan pasukan gerilyawan, dimana daerah pegunungan saat itu didominasi perkebunan kopi dan Kina, sedangkan kawasan hutan dihuni sekawanan Menjangan.
Dalam memoar Moehammad Jasin beliau menyebutkan saat berlakunya Agresi Militer II di Madiun, pada awal Januari 1949 beliau sebelumnya mengungsikan istri dan anaknya di Grenjengan(Giringan) kira-kira 250 meter jaraknya dari Desa Kandangan, setelah sebelumnya menumpang mobil Buick milik pejuang Abu, dari Madiun sampai dengan Kandangan, selama agresi militer Belanda II markas gerilya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari pasukan musuh, seperti ke Jeladri, lalu ke Selayar, daerah tersebut sangat sulit dijangkau, bahkan pasukan Belanda sendiri berpikir ulang untuk menjangkau tempat-tempat tersebut.
Menuju ketempat tersebut memerlukan waktu yang lama, karena harus berjalan kaki dimulai dari Kandangan lalu melewati dukuh Banaran, lalu melintasi padang rumput yang luas, melintasi sungai melompat dari batu besar ke batu besar satunya karena tidak ada jembatan, lalu mesuk ke areal hutan pinus, melewati air terjun, menaiki lereng jurang tinggi yang terjal,hingga sampailah di kawasan perkebunan kopi dan kina yang berbatasan dengan kawasan hutan, disitu terdapat gubuk yang tak jauh dari mata air, dimana gubuk tersebut sebagai tempat rahasia persembunyian anak istrinya dan markas pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, dan lebih tinggi lagi terdapat daerah Selayar dengan pemandangan yang menghadap ke Sawahan, utara Nganjuk.
Di Dungus beberapa kilo meter jaraknyadua bulan sebelum terjadinya cease fire atau gencatan senjata yang mengakhiri Agresi Militer Belanda II, terjadi peristiwa dimana Soejatno Komandan Mobrig (MB) berhasil mendeteksi pasukan Belanda dan dua kader Polisi Belanda dengan kekuatan satu peleton sedang mendekati jalur pendakian. Soejatno mengatur taktik dengan menempatkan pasukan mitraliur Mobrig diatas ujung pendakian, sementara pasukan lain bersiap menyergap pasukan patroli Belanda yang kemungkinan nantinya lolos dari tembakan Mitraliur. Saat menaiki tanjakan, pasukan patroli Belanda dibrondong dengan mitraliur dan lemparan ledakan granat, dipastikan banyak tentara pasukan Belanda tewas, Komandan patroli Belanda dengan pangkat Letnan dan dua kader Polisi belanda berhasil ditangkap, beberapa tentara Belanda ada yang berlari menyelamatkan diri, pasukan Mobrig pimpinan Soejatno juga berhasil menyita persenjataan mereka.
Sebulan sebelum terjadinya cease fire Komandan MBB Jawa Timur Komisaris Polisi Moehammad Jasin bersama pasukan sejumlah satu peleton melakukan operasi melintasi pegunungan Wilis dari Jeladri hingga ke Ngebel dekat pembangkit Listrik dimana daerah tersebut sebagai daerah pertahanan Belanda di Pegunungan Wilis. Daerah-daerah pegunungan Wilis juga sebagai daerah yang masih rawan dari sisa-sisa grombolan komunis FDR/PKI yang ingin membalas kekalahan, dengan demikian hal tersebut diperlukan kewaspadaan. Namun ternyata pasukan Moehammad Jasin telah diketahui pihak pasukan Belanda, kala itu Moehammad Jasin yang bersama pasukan sedang beristirahat dan makan siang disebuah rumah gedhek milik seorang warga dikepung pasukan Belanda, sontak Mohammad Jasin mencabut Badik (senjata keris asal Makasar) sebagai penolak bahaya, seraya mengucapkan Bismillah, beliau menerjang keluar rumah gedhek dan berlari zig-zag agar lolos tembakan dari musuh, Moehammad Jasin mengungkapkan hal tersebut beliau serasa berlari dengan kecepatan angin, Alhamdulillah beliau bersama pasukan lolos dari kepungan pasukan Belanda, sambil membalas tembakan-tembakab pasukan Belanda, lalu melanjutkan perjalanan menuju Pulung, Ponorogo, namun dua orang anggota Mobrig gugur, sedang dipihak pasukan Belanda tidak diketahui secara pasti. Kejadian tersebut dari hasil penyelidikan bahwa musuh jauh hari sebelumnya telah mengirimkan satu batalyon pasukan Green Caps (tentara baret hijau) guna memahami daerah Pembangkit Listrik di Ngebel, hingga akhirnya mengetahui kedatangan pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur.
Setelah Cease Fire Moehammad Jasin selaku sebagai Komandan Militer Sektor Timur Madiun mengadakan kontak dengan komandan militer Belanda di Madiun untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut penghentian tembak menembak, dan menanyakan para pasukan Belanda yang ditahan oleh para pasukan Mobrig atau Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur.
Pada tahun 1975 kerangka kedua jenazah Komandan Muda Polisi Sanali dan Agen Polisi (AP) I Sakip di pindahkan ke TMP (Taman Makam Pahlawan) Madiun. Dan Kemudian untuk mengenang perjuangan Pahlawan Mobile Brigade pada tanggal 02 Juli 1977 di tempat tersebut di bangun Monumen Perjuangan Brimob oleh Kesatuan Polri bersama masyarakat setempat, dan diresmikan oleh Bupati KDH. Tk. II Madiun Bapak Slamet Hardjooetomo. Lalu pada tanggal 20 Pebruari 1985 dipugar kembali, dan selanjutnya tanggal 22 Juli 1985 pemugaran diresmikan kembali oleh Mayor Jendral Polisi Drs. H.Wik Djatmika. SH.
Semoga kita bersama bisa melanjutkan cita-cita para pejuang Kemerdekaan Indonesia, Aamiin YRA.
Sumber :
- Sejarah napak tilas perjuangan Bhayangkara Polri dari Sabang sampai Merauke milik Brimob Den C Pelopor Kletak Madiun.
- Pasukan Polisi Istimewa Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur tulisan Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri.
- Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang Meluruskan Sejarah Polisi Indonesia oleh Komjen Polisi (Purn) Dr. H. Moehammad Jasin.
Copas post fb mas Brahmantia
Thursday, February 28, 2019
Wednesday, February 27, 2019
Bawalaksana sebagai nilai luhur Jawa
![]() |
wayang umbul |
Sikap “BAWALAKSANA” Falsafah Luhur
Prinsip Bawalaksana adalah sebuah filsafat hidup yang telah dijunjung tinggi masyarakat Nusantara terutama di tanah Jawa. Prinsip ini telah dipegang teguh oleh kalangan penguasa, pemimpin dan ulama sebagai janji yang harus ditepati dan rakyat yang sangat percaya dan menghormati janji tersebut. Maka dalam masyarakat Jawa terkenal dengan ungkapan Sabdo pandhito ratu tan keno wola-wali. Ungakapan ini tertanam dalam kehidupan masyarakat, dijunjung tinggi dan menjadi sebuah hukum tidak tertulis, atau norma yang harus dipenuhi oleh para penguasa atau raja dan para ulama / tokoh agama.
Prinsip Bawalaksana ini, secara tidak langsung merekat kuat di kehidupan masyarakat nusantara melalui cerita-cerita dalam dunia pewayangan, atau cerita rakyat lainnya. Banyak contoh cerita nusantara yang menggambarkan prinsip Bawalaksana atau janji , tetapi pada akhirnya terhukum oleh janjinya sendiri, karena tidak bisa memenuhi apa yang telah diucapkannya.
1. Cerita rakyat dari Minangkabau “Malinkundang” akhirnya menjadi batu karena mengingkari janjinya pada Ibunya.
2. Roro Jonggrang disabda Bandung Bondowoso karena mengingkari janjinya untuk mau diperistri.
3. Ken Arok disabda Mpu Gandring, mati dengan kerisnya sendiri karena mengingkari pembuatan keris sakti.
4. Majapahit hancur karena mengingkari janji , saat mempersunting putri Pajajaran “Dyah Pitaloka”
dan masih banyak lagi contoh cerita, mereka yang celaka karena mengingkari janjinya sendiri.
Dalam refleksi kehidupan politik Negara Republik Indonesia, sejak kemerdekaan sampai era reformasi, para pemimpin negeri ini banyak yang celaka akibat tidak memenuhi janjinya pada rakyat. Artinya mereka dengan sengaja melanggar prinsip Bawalaksana.
Hal ini bisa kita amati secara umum pada setiap Pemilu, banyak para calon Legislatif mengobral janji, namun pada akhirnya dihukum oleh janjinya tersebut. Banyak Calon DPR yang pada periode pertama sukses mendapatkan kursi, namun pencalonan yang kedua kali gagal, bahkan sampai menghabis biaya yang luarbiasa. Karena terhukum oleh janjinya pada rakyat. Ada suatu ungkapan yang cukup populer dalam demokrasi yaitu,” vox populi vox dei” Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Saya kira ungkapan ini sejalan dengan prinsip Bawalaksana, jadi siapapun calon penguasa yang menginginkan mendapatkan simpati dari rakyat kuncinya adalah pegang teguh prinsip Bawalaksana, yaitu satu kata satu perbuatan, menepati apa yang telah diucapkan.
Dalam buku "Sabda Pandita Ratu",1990 oleh Sujamto. Di contohkan tokoh-tokoh yang memegang teguh prinsip Bawalaksana, yang diambil dari tokoh-tokoh pewayangan dan sejarah nusantara, yaitu:
![]() |
Prabu Dasarata Raja Ayodya
|
1. Prabu Dasarata, menenuhi janjinya pada Dewi Kekayi agar tahta Kerajaan Ayodya diberikan pada keturunannya yaitu, Raden Barata
2. Ramawijaya, karena Janji ayahnya, Ramawijaya merelakan tahta Ayodya yang menjadi haknya diberikan pada Raden Barata. Ramawijaya rela dibuang ke hutan Dandaka bersama Dewi Shinta istrinya dan ditemani adiknya Raden Laksmana.
3. Prabu Santanu, dengan berat hati memenuhi janjinya untuk menyerahkan tahta Hastina untuk keturunan Dewi Durgandini (setyawati), yaitu Raden Citragada dan Wicitrawirya karena kedua pangeran ini meninggal dalam peperangan kemudian digantikan Resi Wiyasa yang merupakan putra Dewi Durgandini dengan Bambang Palasara untuk melanjutkan tahta Hastinapura.
![]() |
Resi Bisma |
4. Dewabrata (Resi Bisma), berjanji wadat hanya untuk meyakinkan pada Dewi Durgandini agar mau di persunting ayahnya, untuk meyakinkan janjinya Dewabrata bersumpah wadat, Hingga trah Hastinapura berpindah pada keturunan Dewi Durgandini yaitu: Citragadda dan Wicitrawirya.
![]() |
Puntadewa |
5. Puntadewa, terkenal dengan raja berdarah putih karena sikap kesabarannya yang tanpa batas. sebagai seorang yang ‘wani ngalah luhur wekasane’! Piwulang (ajaran) Jawa tersebut artinya bahwa manusia hendaknya berani mengalah, ketahuilah bahwa tindakan mengalah tersebut akan membawa pada derajat yang luhur (kebaikan tinggi). Dan, patut diingat bahwa mengalah di sini bukan berarti kalah, tetapi mengalah demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukankah dengan demikian orang yang mengalah itu pada hakikatnya justru menjadi pihak yang menang?
Dalam kehidupannya, Prabu Puntadewa ini dikenal sebagai penyabar, adil dan bijaksana, pemurah, jujur atau tak pernah berbohong, bahkan tak pernah marah sedikit pun. Karena itulah Raja Ngamarta itu dikenal sebagai seorang satriya yang memiliki ludira seta (darah putih). Apapun yang dimintanya pasti diberikan, termasuk barang yang paling berharga sekali pun, seperti pusaka ‘Jamus Kalimasada’ dan permaisurinya Dewi Drupadi dalam lakon “Indrajala Maling”, misalnya, dikisahkan ada seorang maling bernama Indrajala yang meminta kepada Prabu Puntadewa senjata Ngamarta (Jamus Kalimasada) dan istrinya Dewi Drupadi. Dan, Prabu Puntadewa pun menyerahkan Jamus Kalimasadadan istrinya Dewi Drupadi kepada Indrajala.
Sumber : wawansusetya.blogspot.com
6. Dewi Kunthi, adalah sosok wanita yang sangat mulia membimbing, putra Pandawa menjadi ksatria-kesatria yang sakti berbudi luhur.
Dewi Kunthi adalah putri Prabu Kunthiboja raja Mandura. 4 bersaudara :
1. Basudewa yang menurunkan : Krisna dan Baladewa
2. Dewi Kunthi menurunkan Putadewa, Bima, Arjuna serta mengasuh anak Dewi Madrim sejak bayi yaitu: Raden Nakula dan Sadewa,
3. Arya Praburukma
4. Ugrasena menurunkan Setyaki senapati tangguh Pandawa
7. Resi Wisrawa
Sebuah kisah tragis Resi Wisrawa yang berniat mencarikan istri sang Anak tercinta Raja Lokapala Prabu Danaraja/Danapati, mengikuti sayembara pilih di negeri Alengka melamar Dewi Sukesi putri Prabu Sumali. Dewi Sukesi hanya mau diperistri oleh Resi Wisrawa yang telah membabarkan Sastra Jendra Hayuningrat. Sebuah dilema bagi Resi Wisrawa, yang pada akhirnya memenuhi sumpah Dewi Sukesi yang hanya mau diperistri oleh siapapun yang mamu medar Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka lahirlah Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana. Di akhir cerita Prabu Danaraja bermaksud menghukum Resi Wisrawa yang dianggap merebut Dewi Sukesi, namun karena Prabu Danaraja merasa walaupun bagaimana Resi Wisrawa adalah ayahnya yang harus di hormati, maka Prabu Danaraja menyembah ayahnya dan pulang ke negeri Lokapala, atas kebijaksanaanya Prabu Danaraja di angkat sebagai Asalira Dewa, dengan jejuluk Dewa Wisranawa/Dewa Kuwera sebagai Dewa Harta Kekayaan.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Serat : kitab, ajaran Sastrajendra: ilmu tentang raja-raja (keutamaan) Hayuningrat: kedamaian, keselamatan Pangruwating: merubah, mengobati Diyu: simbol keburukan, angkara
![]() |
Bambang Sumantri |
8. Patih Suwanda
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih Suwanda” adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagahberaniannya, mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Sebagai kesimpulan sikap luhur "bawalaksana"di dalam kasustraan jawa adalah :
Menepati janji, satu kata satu perbuatan dengan semua konsekuensi yang ada, dijalani dengan rasa syukur, dan ikhlas
Menjalani hidup ini dengan punuh rasa syukur,apapun ketetapan rasa yang Tuhan berikan tetap bersyukur dan ikhlas menjalani.
Menjalani hidup ini dengan berarti, hidup dikatakan berarti apabila dalam menjalani hidup ini bisa memberikan manfaat buat sesama,masyarakat dan bangsa, menjadi pribadi yang kaya hati (amalshaleh/berderma),luas hati (sabar).
Setia berjalan diatas kebaikan budhi pekerti luhur,welas asih sesama Sebenarnya jalan dan laku keluhuran yang beraneka macam rupa warna serta jalanya tidak berhenti didalam ketiga hal diatas saja,asalkan setiap diri bisa berjalan diatas kebenaran,kebajikan menuju kebenaran sejati yang bersumber dari Tuhan YME ,maka diri sedang berjalan dan meniru laku utama. Semua agama mengajarkan tentang kebajikan dan kebenaran biarlah mereka-mereka menjalani keyakinan yang diyakininya,berfikir berprilaku hidup tentram penuh toleransi,jangan menghakimi kepercayaan agama lain yang pada akhirnya toh juga tidak mau dipaksakan,anda sudah pasti tidak mau ikut ajaran keyakinan dia,dan dia yang pasti tidak mau juga walau dipaksa maupun sukarela untuk mengikuti ajaran keyakinan anda.Maka tiada guna berdebat masalah agama.para pembaca yang budhiman yang dirahmati Tuhan.kembali pada pembahasan topik awal mengenai "Bawalaksana" kenapa dalam kasustraan jawa kata bawalaksana menempati posisi penting dalam laku utama. Utamaning nata. Seyogyanya setiap manusia, terutama pemimpin harus teguh dan setia menjalankan kata bawalaksana, jika tidak memegang dan menjalankan ini, sudah bisa dipastikan dia tidak akan mendapatkan "kepercayaan" di hati rakyatnya,dalam lingkup terkecil pribadi manusia maka dia tidak akan mendapatkan kepercayaan dari sesamanya bahkan rekan dan kawan akrab sekalian, wibawanya jatuh dikarenakan kurang di percaya.Ya benar sekali kata sederhana ini mengandung pengertian yang sangat luas,terjemahan dari arti singkatnya adalah :
"Teguh untuk melaksanakan dan memegang janji atau ucapanya sendiri,berusaha menepati apapun misalkan rintangan yang menghadang dan akan dihadapi dikemudian hari".
Kata bawalaksana juga bisa disejajarkan dengan sikap ucapan dan prilaku yang konsekwen terhadap ucapan yang telah dikeluarkan, Dalam menepati "Sesanti/janji" kata bawalaksana juga bisa disejajarkan dengan kata orang yang teguh dan dapat dipercaya ucapan dan perilakunya,tidak munafik".
Apakah para pejabat dan kepala negara sekarang yang masih berkuasa menjalankan tahta kepemimpinan masih memegang teguh kata-kata "bawalaksana"yang telah diikrarkan ketika pelantikan kenaikan pangkat dibawah sumpah ayat sucinya.?
para pembaca, kata bawalaksana adalah sebuah kata yang juga identik dan bisa menuju pada makna
"Sabda Pandhita Ratu Tan Kena wola wali"
Sabda : ucapan
Pandhita :Orang linuwih/Kepercayaan
Ratu :Yang memerintah,mengatur,menjalankan tapuk kepemimpinan.
Tan kena :Dihindari,Tidakboleh,larangan.
Wola-wali:Tidak sesuai,ucapan mencla-mencle,Tidak berpendirian,lahir bathin jiwa raga yang tidak bisa sejalan dengan ucapan.tidak konseksen,munafik,ingkar janji.
Sumber :
Nilailuhur.blogspot.com
buku Sabda pandita ratu,1990 oleh Sujamto
Satriotomo-gombal.blogspot.com
Tuesday, February 26, 2019
Pemberontakan Wanengsentika dalam Babad Patjitan
Di Ponorogo, Tumenggung Jayengrana mendengar kabar bahwa ada seorang gadis yang mau melahirkan. Setelah memeriksa perkara tersebut ia menemukan bahwa gadis itu tidak berzina , tetapi masih suci dan tidak bersalah, kemudian dibawa untuk dijadikan selir. Bayi laki-laki tampan lahir dan diberi nama Raden Bawan. Ahli nujum meramal bahwa Raden Bawan akan menjadi orang besar; ia akan menjadi pahlawan Ponorogo yang sakti dan menaklukkan musuh-musuhnya, kemudian saat remaja Raden Bawan berguru pada Kyai Sangki. Banyak orang percaya bahwa ia suatu hari menjadi seorang pemimpin pemberontak yang terkenal. Raden Demang Danurejo, mantan patih Sumoroto juga mempercayai hal itu. Ketika dewasa ia diberi nama Raden Waneng sentika, ia bersama Danureja dan kyai Sangki sepakat untuk memberontak (madeg kraman)
Dalam Babad Patjitan ketiga nya mengunjungi Kyai Wajug untuk minta nasehat, seorang guru terkenal di Desa Ngile, Nglorog Pacitan. Ketika kyai Wajug mendengar rencana mereka bahwa akan memberontak dan memerangi Belanda di Tanah Jawa, beliau langsung setuju dan menjadi penasihatnya. Dalam sebuah sumpah setia, mereka memutuskan untuk hidup mati dalam perjuangan mereka. Raden Wanengsentika akan menjadi raja; Danureja akan menjadi patih; dan yang menjadi guru penasehat perang adalah Kyai Wajug dan Kyai Sangki. Limaratus orang yang penuh semangat , semua bersenjata tajam berkumpul dan bergerak ke Pacitan, saat melewati Desa Turusan, lurah setempat melaporkan adanya pemberontakan pada Bupati Jagakarya II sebagai bupati Pacitan dan berita ini dilanjutkan kepada Asisten Residen Prisman.
Prajurit dan serdadu dikumpulkan di alun-alun Pacitan, Mereka bermaksud mencegat para pemberontak , mengetahui adanya pasukan kompeni pasukan Wanengsentika mundur ke atas gunung Kajor, kemudian pasukan Kompeni mengepung mereka.
Bupati Jagakarya II mengirim seorang utusan "Brajagpati" agar membujuk Wanengsentika agar menyerah, namun Wanengsentika membalas dengan sebuah maklumat bahwa ia sekarang adalah seoran raja dan tidak berniat menyerah. Asisten Residen dan Bupati Jagakarya II memerintahkan semua prajurit untuk menyerang hingga pimpinan pemberontak menyerah, kemudian mereka diadili dan dijatuhi hukuman gantung dan yang lainnya diasingkan ke luar pulau.
Dikutip dari buku "Madiun dalam kemelut sejarah"
Sawah cakaran
Pemerintah dan para priyayi mencoba mencegah munculnya sawah semacam ini karena menimbulkan masalah dalam pembagian air.
Di kabupaten Ngawi ada beberapa kepemilikan tanah dalam skala besar, hal ini karena kebijakan asisten Residen Ngawi pada akhir tahun 1880 an. Asisten Residen mendorong kalangan elite Jawa untuk minta tanah luas yang belum digarap untuk dijadikan lahan pertanian dan dijadikan sawah milik pribadi, hal ini terutama di daerah Sepreh dan Gendingan. Di Sepreh ada sekitar 650 bau yang menjadi milik pribadi seorang haji dan priyayi. Sementara di Gendingan total 950 bau milik orang Jawa dan 725 bau milik orang Eropa. Pemilik sawah-sawah ini di antaranya adalah mantan Bupati Ngawi, RM Brotodiningrat (menjabat 1885-1890) sejumlah 120 bau dan keluarga kerajaan Keraton Surakarta Mangkunegara .
Pada tahun 1870 Belanda memperkenalkan Undang-undang Agraria yang melarang pemilikan tanah dan penjualan kepada orang asing. Hukum ini membuat orang Cina dan Eropa tidak bisa memiliki tanah dan mencegah alienasi kepemilikan tanah bagi petani. Namun beberapa orang Eropa dan Cina, seperti halnya yang terjadi di Gendingan mengelabui Undang-Undang ini dengan membeli tanah atas nama orang Jawa yang menjadi pelayan mereka, kepercayaan atau bahkan selir mereka.
Dikutip dari buku "Madiun dalam kemelut sejarah" Ong Hok Ham
Wednesday, February 20, 2019
Subasita (sopan santun)
Yang tidak tahu subasita ( sopan santun ) dikatakan sebagai orang yang “degsura” atau kurang ajar alias tidak pernah mendapatkan pembelajaran ataupun mempunyai guru. Pada umumnya orang Madiun pun dianggap sopan-santunnya tinggi, karena masih memiliki garis mataram. Sampai ada istilah lucu, dalam kebingungan bilamana dirumahnya ada tamu yang datang tiba tiba di rumah seseorang, dan sang empu pemilik rumah hanya memakai celana pendek serta kaos oblongpun pasti secepat kilat berganti pakaian untuk menghormati tamunya sambil mengucap “nuwun sewu”.
Mengenai “Subasita” pernah saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut: Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi.
Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda.
Menurut pendapat saya memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman dulu mungkin pembantu di rumah selalu bersimpuh di lantai kalau dipanggil Ibu. Sekarang mana ada pembantu jongkok di lantai.
Demikian pula ada beberapa hal yang harus disesuaikan, misalnya mengenai pakaian. Kapan kita berpakaian a la Belanda, kapan kita berpakaian a la Jawa. Dua-duanya bagus. Berpakaian seperti Belanda kelihatan “bregas” (gagah) sedangkan berpakaian Jawa dikatakan “merak ati” (manis, menarik). Urusan tatakrama batuk, bersin, buang ingus dan meludah, dulu sudah menjadi perhatian. Dikaitkan dengan sopan santun dan kesehatan. Hal tersebut masih menjadi masalah pada masa ini. Kita mungkin susah payah memberika penyuluhan etika batuk dan bersin yang benar.
Hal lain yang menarik adalah budaya Jawa sebenarnya menghormati wanita. Salah satunya adalah: Dilarang merokok di dekat wanita. Alasannya sederhana saja, tidak sopan dan membuat sesak napas. Pada masa itu (tahun 1914). Subasita Jawa juga bersifat akomodatif. Maksudnya, kalau ada orang dengan budaya lain maka harus kita hormati.
Mengantuk dan menguap adalah penyakit harian yang pasti kita alami dimana saja dan kapan saja. Bila abad 21 kita sebut sebagai abad rapat dan seminar maka di tempat itu lah akan kita jumpai orang mengantuk, menguap bahkan tidur. Karena abad 21 juga abad informatika maka foto orang ngantuk apalagi kalau yang ngantuk itu orang penting cepat sekali beredar kemana-mana.
Manusia setampan atau secantik apapun kalau sedang menguap tampak jelek sekali. Cobalah sekali-sekali kalau sedang mengikuti pertemuan minta ke salah satu teman untuk memotret kalau kebetulan kita menguap. Wah, kita akan terkagum-kagum sendiri melihat wajah kita. Tetapi sepertinya penyakit mengantuk termasuk penyakit yang tidak bisa dicegah.
MENGANTUK
Menurut “subasita” Jawa mengantuk saat hadir dalam “pasamuwan” (pertemuan) dikatakan “saru”. Kalau kita kehilangan kemampuan komunikasi dalam pertemuan karena ngantuk sebaiknya pulang saja, tidur! Lebih celaka lagi kalau dalam pertemuan kita tak pernah lepas dari kantuk, tetapi tatkala hidangan keluar kantuk pun hilang. Kita makan, bahkan dalam porsi besar seolah mata dan mulut berdiri sendiri-sendiri. Selesai makan, kantuk hilang diganti tidur. Kenapa kita tidak kasihan kepada diri kita sendiri?
MENGUAP
Dalam bahasa Jawa menguap disebut “Angob”. Menguap terkait erat dengan kantuk. Tidak ada kuap tanpa kantuk demikian pula tidak ada kantuk tanpa kuap. Menguap juga merupakan perilaku tidak sadar orang yang bosan.
Oleh sebab itu kalau kita sedang menerima tamu baik di rumah maupun di kantor jangan sekali-sekali menguap. Hal ini sama saja mengusir secara halus. Tentu saja yang bisa merasakan hanya tamu yang “tanggap ing sasmita” dari bahasa tubuh tuan rumah. Bila kita sebagai tuan rumah merasa akan “angob” carilah trik supaya tidak ketahuan tamu kita. Apakah berdiri, pura-pura mengambil sesuatu di tempat lain atau cara lain yang pas.
Tamu juga jangan sampai menguap di depan tuan rumah. Orang Jawa mengatakan “degsura” atau kurang ajar.
CATATAN
Sumber tulisan ini adalah “Serat Subasita” karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta. Apakah jaman memang sudah berubah sehingga pada abad 21 ini banyak orang tidak malu “angob” dan “ngantuk” di muka umum? Termasuk melihat wajah jelek kita kalau sedang “angob?” Sumangga.
#DwijaTanaya. dirangkum dari berbagai sumber.
Tuesday, February 12, 2019
Pemerintahan Desa di era Kolonial
Desa dipimpin oleh kepala desa , di wilayah mancanegara biasanya disebut Lurah. Dalam tugasnya di bantu Bayan, carik, jagakarsa, jagabaya, kamituwo, modin, mantri ulu-ulu dan lainnya. Perangkat desa digaji dengan tanah lungguh atau bengkok. Tanah bengkok ini luasnya biasanya seperlima dari tanah garapan didesa tersebut. Selain hak tanah, lurah dan pamong desa juga memiliki hak atas kerja bhakti (pancen) dan kadang-kadang upeti lainnya. Masa bhakti seorang lurah dipilih tiap 8 tahun atau beberapa tahun meskipun pejabat lama bisa dipilih kembali bahkan sering menjadi seumur hidup atau diganti oleh putranya atas restu bupati, biasanya dengan membayar f 30 s.d. f 300. Pemilihan lurah dilaksanakan dengan di hadiri bupati atau wedana. Para calon akan jongkok dalam satu baris, sedangkan pemilih adalah penduduk yang memiliki tanah atau kebun dengan menancapkan biting/lidi pada wadah yang sudah disediakan di depan simbol calon lurah yang telah disepakati sebelumnya. Simbol calon lurah biasanya berupa hasil pertanian misalnya ketela, padi, jagung dan lain-lain. Sejak 1830 - 1870 pada era tanam paksa, bupati sangat berpengaruh pada semua urusan desa bahkan sampai penunjukan seorang lurah yang terkadang tanpa ada proses pilihan lebih dulu.
Dari sudut pandang penduduk desa seorang lurah mempunyai kedudukan yang tinggi, sakral karena mendapatkan wahyu ( pulung) serta restu dari priyayi berupa (beselit) , namun terkadang oleh pemerintah kolonial kesakralan itu dipandang tidak begitu penting. Hingga tahun 1840 lurah bisa mendapat hukuman badan dengan dicambuk pakai rotan didepan umum jika melanggar hukum sekecil apapun. Istilah melanggar hukum pun bisa diterjemahkan secara subyektif misalnya lurah dituduh korupsi, memeras atau tidak memenuhi tuntutan tanam paksa. Guna mempertahankan prestise para pejabat di daerah maka Menteri urusan koloni mengeluarkan perintah khusus pada Gubernur Jendral untuk menghentikan hukuman fisik dan diganti dengan penjara singkat atau tahanan di ndalem bupati.
Sumber: buku "Madiun dalam kemelut sejarah"
Subscribe to:
Posts (Atom)