Tuesday, February 26, 2019

Sawah cakaran


Setelah berakhirnya sistem tanam paksa tahun 1870 berkembang sistem ekonomi liberal, maka ekonomi uang mulai diperkenalkan secara cepat sampai pada wilayah pedesaan. Saham permanen dalam tanah komunal , sebuah bentuk kepemilikan baru bisa di perjual belikan. Pajak harus dibayar dalam bentuk uang dan gaji pada perkebunan pemerintah dibayar dalam bentuk uang, walaupun dalan prakteknya besaran gaji tidak sesuai harapan dari pembuat kebijakan artinya sangat rendah. Dampak dari ekonomi uang pada masyarakat pedesaan adalah petani mencoba menaikan pendapatan pribadi mereka, hingga banyak muncul apa yang disebut "sawah cakaran" yaitu sawah yang digarap dari lahan pekarangan di sekeliling rumah seorang petani kaya. Khususnya di wilayah Ponorogo,  sawah cakaran  luasnya sangat menonjol, seorang petani menggarap hingga 3/4 bau. 
Pemerintah dan para priyayi mencoba mencegah munculnya sawah semacam ini karena menimbulkan masalah dalam pembagian air. 

Di kabupaten Ngawi ada beberapa kepemilikan tanah dalam skala besar, hal ini karena kebijakan asisten Residen Ngawi pada akhir tahun 1880 an. Asisten Residen mendorong kalangan elite Jawa untuk minta tanah luas yang belum digarap untuk dijadikan lahan pertanian dan dijadikan sawah milik pribadi, hal ini terutama di daerah Sepreh dan Gendingan. Di Sepreh ada sekitar 650 bau yang menjadi milik pribadi seorang haji dan priyayi. Sementara di Gendingan total 950 bau milik orang Jawa dan 725 bau milik orang Eropa. Pemilik sawah-sawah ini di antaranya adalah mantan Bupati Ngawi, RM Brotodiningrat (menjabat 1885-1890) sejumlah 120 bau dan keluarga kerajaan Keraton Surakarta Mangkunegara .

Pada tahun 1870 Belanda memperkenalkan Undang-undang Agraria yang melarang pemilikan tanah dan penjualan kepada orang asing. Hukum ini membuat orang Cina dan Eropa tidak bisa memiliki tanah dan mencegah alienasi kepemilikan tanah bagi petani. Namun beberapa orang Eropa dan Cina, seperti halnya yang terjadi di Gendingan mengelabui Undang-Undang ini dengan membeli tanah atas nama orang Jawa yang menjadi pelayan mereka, kepercayaan atau bahkan selir mereka.

Dikutip dari buku "Madiun dalam kemelut sejarah" Ong Hok Ham

No comments:

Post a Comment